Saturday, February 4, 2012

Tentang Wajib Publikasi Calon Sarjana

Pada mulanya adalah Surat Edaran (?) Dirjen Dikti tentang kewajiban bagi calon sarjana (S1, S2, S3) untuk menulis dalam jurnal ilmiah sebelum bisa dinyatakan lulus ....

-----
(Ditulis Bu Fitri di Dikti Group)

Dear All,
Ada surat Dirjen Dikti tentang ketentuan publikasi untuk program S1/S2/S3 yang merupakan salah satu syarat kelulusan, yang berlaku terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012:
1 ) Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
2 ) Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti
3 ) Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal Internasional.

Lengkapnya silakan baca surat edaran No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 yang dituju kepada :
Rektor/Ketua/Direktur
PTN/PTS di seluruh Indonesia di tempat
http://dikti.go.id/attachments/article/2670/Surat%20Publikasi%20Karya%20Ilmiah.pdf

----


Lalu, muncullah berbagai tanggapan, saran, penjelasan, sindiran, dan sebagainya. kita mulai dari tulisan Bu Fitri, aktivis penulis di milis Dikti Group:

-----
" Dear All,
Perlu dicermati isi surat edaran Dirjen Dikti no. 152/E/T/2012, menurut pemahamanku :
http://dikti.go.id/attachments/article/2670/Surat%20Publikasi%20Karya%20Ilmiah.pdf
1 ) Untuk lulusan S1 wajib menghasilkan makalah yang TERBIT di Jurnal Ilmiah (tak ada kata Nasional, berarti boleh yang belum terpenuhi kriteria jurnal ilmiah nasional)
2 ) Untuk lulusan S2 wajib menghasilkan makalah yang TERBIT di jurnal ilmiah NASIONAL (minimal kriteria jurnal nasional harus terpenuhi) DIUTAMAKAN Jurnal terakreditasi Dikti (berarti pada kasus tertentu bisa jadi tak wajib publikasi di jurnal nasional terakreditasi Dikti)
3 ) Untuk lulusan S3 wajib menghasilkan makalah yang SUDAH DITERIMA UNTUK TERBIT di Jurnal Internasional (berarti walaupun belum terbit asal bisa sampaikan bukti sudah diterima untuk terbit sudah dianggap memenuhi syarat)

Mungkin teman-teman ada pendapat lain silakan share...Tks
Salam, Fitri"
 -----

dari Pak Eko Aribowo:

"Apa mungkin itu terlaksana mulai Sept 2012, misalnya untuk yg S2, lha ketersediaan jurnal terakreditasi dan jumlah mahasiswanya sj jauh lebh banyak mhsnya. Begitu pula yg untuk S1. Apalagi kl itu sbg syarat kelulusan.
Sy rasa akan lbh bijak kalau itu dilakukan bertahap. Sy memang belummembaca surat resminya.
Terima kasih dan mohon maaf."

dari saya sendiri:

" Dear all,
Rasanya, menurut pengalaman, lebih mudah memasukkan naskah ke jurnal Internasional daripada jurnal nasional terakreditasi. Bukan karena tuntutan kualitas naskahnya, tetapi jumlah jurnal nasional terakreditasi yang sangat timpang dibandingkan dengan calon pengisinya. Antrean beberapa jurnal sudah bilangan tahun. Bila ini diterapkan tanpa memperhitungkan sedikitnya jumlah jurnal nasional terakreditasi, bersiaplah menyaksikan menurunnya 'produktivitas' perguruan tinggi seluruh Indonesia dalam menghasilkan lulusannya (terutama S2).

Belum lama ini ada juga kebijakan untuk hanya menilai karya ilmiah yang dapat ditelusuri keberadaannya di Internet, yang kemudian diikuti dengan akrobat beberapa portal situs web PT yang men-scan dan mengupload karya ilmiah para dosennya, padahal tujuan kebijakan itu kan untuk mengurangi munculnya jurnal abal-abal plus plagiat?

Mudah-mudahan, surat edaran ini diikuti dengan kebijakan memfasilitasi akreditasi jurnal-jurnal yang ada tanpa mengurangi kualitasnya.

Salam, "


dari Pak Waras Kamdi:

" Semangat Edaran Dirjen itu bagus. Saya setuju, tapi kayaknya memang tidak realistis untk kondisi kita sekarang. Misalnya, jurnal kependidikan, tahun ini yg masih berstatus terakreditasi Dikti setahu saya hanya 6 biji, salah satunya JPP yg kami kelola. Antrean penulis di JPP sdh terbilang tahun. Mhs S2/S3 kependidikan se Indonesia ribuan jumlahnya. Di bidang nonkependidikan dugaan sy tidak jauh beda keadaannya. Siap-siaplah bikin antrean panjang untuk jadi sarjana/magister/doktor.
Salam,
Waka  "

Pak Hendyat Soetopo:

"

Pak Dirjen, Edaran Bapak no. 152/E/T/2012 sulit direalisasi. Untuk mahasiswa S1, bisa direalisasi namun jumlah jurnal ilmiah di perguruan tinggi juga terbatas jumlahnya. Untuk mewadahi karya dosen saja tidak cukup. Apalagi untuk S2 dan S3. Saya usul, dimulainya dari kewajiban telah meng-upload makalah ke Internet saja sebagai langkah awal. Kalau kebijakan ini yang dijadikan titik awal, pasti realistis. Kecuali Dikti membuat ratusan jurnal ilmiah dalam bentuk e-journal untuk mewadahi makalh lulusan S1, S2, S3.
 
Salam Hormat
Hendyat Soetopo
UM  "


dari Pak (Ibu?) Deri:


" Kalau begitu, kapan diterapkan syarat menjadi GB harus memiliki publikasi internasional??

Tidak fair rasanya jika utk menjadi doktor hrs ada publikasi internasional, sdgkan utk GB yg nota bene punya kemampuan membimbing doktor, tp tidak punya publikasi internasional.

Salam
Deri   "


Ditanggapi Bu Fitri:

" Dear Pak/Bu Deri,
GB selain wajib memiliki BKD minimal 12 sks per semester seperti dosen tetap non GB yang lain, mereka harus laksanakan kewajiban tambahan 3 sks per tahun yang salah satu dari 3 yang ditetapkan Dikti adalah wajib publikasi di jurnal internasional, seandainya dalam 3 tahun tidak melaksanaka 3 x 3 sks = 9 sks kewajiban tambahan tersebut, tunjangan kehormatan mereka diberhentikan sementara sampai semua kewajiban terpenuhi. Sudah itu sewaktu menjelang usia 65 tahun, mereka akan mengajukan perpanjangan BUP (Batas Usia Pensiun) salah satu persyaratan : pada tahun terakhir menjelang BUP harus memiliki publikasi di jurnal internasional atau sebagai pembicara utama di seminar internasional di LN atau menulis 3 buku ilmiah yang dijadikan referensi oleh 3 PT dan banyak lagi persyaratan lainnya. Jadi cukup banyak beban kerja juga untuk seorang GB.
Salam, selamat berweekend, ok sudah mau masuk kerja.
Fitri   "




Tanggapan Pak (ternyata!) Deri:

" Dear buk Fitri,

Kalau tidak salah utk kewajiban khusus GB tdk dicantumkan publikasi di jurnal internasional buk, tapi di jurnal terakreditasi.

Klu syarat utk perpanjangan GB, memang menjadi salah satu syarat (pilih satu dari 3 menerbitkan buku, publikasi internasional, menyebar luaskan gagasan). Kadang2 kita agak confuse dgn syarat perpanjangan GB dan kewajiban khusus GB.

Salam
Deri (Uda Deri)  "

dari Pak Amrifan S. Mohruni :

"

Ada bagusnya selain mewajibkan dikti juga memfasilitasi langganan jurnal international dan laboratorium yang memadai di setiap Universitas Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga seluruh dosen NKRI dibekali dengan alat yang sama baru disuruh balapan. Jangan ada yang naek motor/mobil ada yang lari jalan kaki tetapi harus balapan pada lintasan yang sama. Jadi seperti UN nantinya anak yang sekolah di Cikini (sekolahnya Obama) tanding bebas (soal dan nilai kelulusan sama) dengan anak yang sekolah di Yokuhima Papua.
 
wass
ASM  "

" Sangat setuju sekali pak,
Satu sisi Dikti pakai standar scorpus, namun dikti tdk ada memfasilitasi dgn berlangganan journal2 yg masuk scifinder/elsevier.

Kurang pas antara yg dilanggan dengan standar.

Dikti juga harus memfasilitasi untuk memenuhi standar minimal laboratorium sehingga minimal bisa melakukan riset2 pendahuluan.

Salam
Deri  "
 
Pertanyaan dari fentyema@ ...
 
" Banyak juga mahasiswa yg sudah menulis dan menerbitkan buku, tp tdk menulis jurnal. Apakah ini bisa sebagai pengganti jurnal??"
 
Yang setuju dan bersemangat:

"
Salam,

secara jujur saya sangat setuju dgn syarat yg diajukan dikti ini.
kita tidak usah terlalu khawatir dgn fasilitas lab dan jurnal2 berbayar itu. pa;ing tidak dimulai dari dasar2 penelitian dan penggunaan alat yg sederhana kita dapat mndapatkan data guna menyusun paper.

saya juga melihat afek positif bagi setiap jurusan di univ. dgn syarat ini paling tdk setiap jurusan akan dipaksa mmiliki jurnal sendiri shg bisa mengakomodir syarat kelulusan mhs kita. dgn memiliki jurnal ini maka akrditasi kita juga akan meningkat baik level nasional maupun level international.

ok dilanjut dulu diskusinya ...
tetap semangat dgn segala keterbatasan

 
Agung Sudrajad, 
kuantan  "

"  Dear buk Fitri,

Seandainya ini dijalankan, bagaimana cara memonitor apakah SE ini dijalankan oleh perguruan tinggi atau tidak?

SE ini akan mandul jika tidak disertai monitoring dari dikti.

Salam
Deri  "

" Dear Pak Deri,
Sorry ya late reply habis berbagai pertanyaan buat saya pusing dan letih, beberapa PT menanyakan bagaimana kekuatan surat edaran dan apa sanksinya bila tak jalankan. Wah jujur aja saya sama sekali bukan pakar hukum kok ditanya hukum terus ?

Hehehe...terpaksa pelajari dulu deh, tentu dari sejarah pembentuk hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia baru bisa dapat kesimpulan sampai di mana kekuatan suatu surat edaran...jujur aja tak melulu membaca, sempat tidur siang 3 jam, minum kopi dan mencicipi berbagai makanan yang tadi pagi borong dari pajak.


Mungkin pelaksanaan tak termonitor namun sewaktu ada sesuatu penawaran maka laporan publikasi mahasiswa bisa aja dijadikan sebagai persyaratan.  Beban kerja dosen yang merupakan kewajiban dosen tetap menurut PP dosen aja tak terpantau, walaupun ada usaha dari PT/Kopertis mengumpulkan laporan beban kerja dosen, bukankah yang tak menyerahkan juga tak ada sanksi? hanya jadikan laporan BKD sebagai persyaratan serdos, tunjangan, perpanjangan BUP dll.


OK deh sebentar lagi saya akan postkan uraian tentang kedudukan surat edaran di tata hukum kita.
Salam, Fitri.  "

Lalu, Pak Djoko Luknanto, salah seorang anggota DPT (Dewan pendidikan Tinggi?), menulis renungan untuk kita semua (setidaknya, aku ikut merenung juga):

"
Howdy,

Di mana-mana di mailing list banyak yang ribut surat edaran Dirjen Dikti, terutama tentang publikasi ilmiah – jurnal.

Saya memilih diam, karena akan banyak lagi surat edaran yang seperti itu. Tunggu saja:-)

Sejak beberapa bulan ini saya memilih melakukan internalisasi dan merefleksikan seluruh kejadian yang saya lihat. Banyak sekali keputusan di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini yang menurut saya kurang komprehensif pemikirannya.

Saya harus menerima keadaan. Sial bener!

Akhirnya saya sadar, bahwa saya harus kembali kepada ajaran moral/agama bahwa “hidup harus sederhana.” Tampaknya dalam hidup berorganisasi pada setiap jenjang kelembagaan, dari lokal sampai ke tingkat nasional, ajaran tersebut tetap relevan: “hidup harus sederhana.”

Dalam kekinian, saya menerapkan konsep tersebut dalam hidup berorganisasi. Saya mengambil sikap bahwa “mengharapkan leadership yang baik merupakan sebuah kemewahan.” Oleh karena itu jangan terlalu mengharapkan “leadership” karena sudah sangat jarang dijumpai di negara ini.

Hanya sayangnya kita belum punya ‘sistem’ yang bagus, sehingga begitu ‘leadership’ tidak ada, ‘seluruh sistem’ menjadi goncang. Lebih baik membangun ‘sistem’ dan jangan terlalu mengandalkan kepada ‘leadership.’

Jangan mengharapkan ‘leadership.’ Fatamorgana! Delusional!  "

Yang ditanggapi oleh Pak Heru Suhartanto :

"
imho,

sebaiknya pihak dikti mau mendengar dan bijak memroses/mempertimbangkan pendapat tersebut. apakah tidak ada alternative untuk menggiatkan publikasi? misalnya wajibkan saja dosen yang dapat tunjangan profesi untuk dapat membuat publikasi internasional, kalau tidak bisa ya cabut saja tunjangan itu. dari pada harus menimpakan kekesalan/kesalahan ke para mahasiswa terutama S1. Ujung2nya akan timbul banyak jurnal dengan kwalitas publikasi yang rendah atau masa kelulusan (terutama S1) akan makin lambat karena harus menunggu terbit papernya di suatu jurnal.  "

      (Saya memilih diam, karena akan banyak lagi surat edaran yang seperti itu. Tunggu saja:-)
 
diam sich memang boleh,  tapi paling tidak -- tidak membenarkan -- kalau edaran itu memang salah. Prinsip agama salah satunya  adalah kalo ada yang gak benar bisa dilakukan perubahan dengan tangan (kekuasaan) atau lisan (email pun jadi kale) atau dalam hati (diam tapi tak setuju, minimum do'akan agar yang membuat keputusan terbuka hatinya).
      (Sejak beberapa bulan ini saya memilih melakukan internalisasi dan merefleksikan seluruh kejadian yang saya lihat. Banyak sekali keputusan di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini yang menurut saya kurang komprehensif pemikirannya.)
 
 
setuju, bisa jadi ada yang berpendapat, pokoknya saya maunya begini, tanpa didahului oleh pemikiran yang panjang tentang persiapan dan dampak kebijakan itu.
 
imho, minimum kita bisa jadi leader yang benar di lingkungan kita sendiri, minimum di kantor/kuliah dan rumah, amin...

wasalam
---heru
 
Ada pula kajian hukum tentang prosuk berupa "Surat Edaran" dari Bu Fitri (Thanks Bu, jadi nggak usah cape nyari sendiri):

" Dear All,
Bermula dari ada yang mempermasalahkan/meragukan kekuatan hukum surat edaran Dirjen Dikti yang menjadikan publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus, saya jadi tertarik dan coba pelajari dari berbagai sumber bagai mana sebenarnya posisi surat edaran pejabat dalam tata hukum RI, apakah merupakan peraturan yang berkekuatan hukum atau hanya merupakan sebuah kebijakan atau himbauan untuk binaannya?

OK deh tentu harus dimulai dari pengenalan terhadap jenis peraturan-peraturan di Indonesia dan tata urutnya.

>>>

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya

Hierarki peraturan perundang-undangan baru mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang No.1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
http://ngada.org/uu1-1950bn.htm
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Menteri
Pasal 2
Tingkat kekuatan peraturn-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada

Selanjutnya hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 sbb:
http://tatanusa.co.id/tapmpr/66TAPMPRS-XX.pdf
Terdapat di Halaman 12
1) Undang Undang Dasar 1945
2) TAP MPR
3) Undang Undang/Perpu
4) Peraturan Pemerintah
5) Keputusan Presiden
6) Peraturan Pelaksana lainnya misalnya Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain lain

Selanjutnya tata urut peraturan perundang-undangan diobah lagi dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 menjadi:
http://portal.djmbp.esdm.go.id/sijh/Ketetapan%20MPR%20No.%20III%20Tahun%202000.pdf
1) Undang Undang Dasar 19454
2) TAP MPR
3) Undang Undang
4) Perpu
5) Peraturan Pemerintah
6) Keputusan Presiden
7) Perda

Kemudian diperbaharu lagi dengan UU no. 10 tahun 2004 (sudah dibatalkan UU no. 12 tahun 2011)
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2004/10Tahun2004UU.HTM
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 menyebutkan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

UU no. 12 tahun 2011 merupakan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan YANG BERLAKU SAAT INI
http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czozMjoiZD0yMDAwKzExJmY9dXUxMi0yMDExYnQuaHRtJmpzPTEiOw==
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

>>>

Mari pelajari bagaimana kedudukan Surat Edaran dalam tata hukum Negara kesatuan Republik Indonesia :
Implentasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
http://www.djpp.info/index.php/component/content/article/89-implementasi/282-implementasi-ternate

A. Materi yang disampaikan dalam kegiatan Implementasi Perangkat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pembicara ke III : Sri Hariningsih, S.H., M.H.
Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
http://www.djpp.info/files/perda/implementasi/2009/notulamalut.pdf
Butir 15
Produk hukum dalam bentuk " Surat Edaran" baik sebelum maupun sesudah berlakunya UU no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan pembentukan peratuaran perundang-undangan TIDAK dikategorikan sebagai PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, karena Surat Edarn kedudukan nya bukan sebagai peraturan perundangan-undangan, dengan demikian keberadaannya sama sekali tidak terikat dengan ketentuan UU no. 10 tahun 2004.

B. Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen no. 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK.

Selanjutnya di Permendagri no. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan :
http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/01/11/p/e/permen_no.55-2010.doc
Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak

Mengingat isi Surat Edarn hanya berupa pemberitahun, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.

Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.

Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia, norma hukum mencakup:
a. Norma tingkah laku terbagi 4:
- Larangan
- Perintah (harus atau wajib)
- Ijin (dapat atau boleh melakukan sesuati)
- Pembebasan dari suatu perintah (pengecualian)
b. Norma kewenangan terdiri 3:
- Berwenang
- Tidak Berwenan- Datap tetapi tidak perlu dilakukan
c. Norma penetapan terdiri 2:
- Kapan mulai berlaku suatu peraturan perundang-undangan
- Penentuan tempat kedudukan suatu lembaga dsb

C. Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh : Drs. Zafrullah Salim, M.H.
Butir 7 dan 8
http://www.djpp.depkumham.go.id/files/perda/implementasi/2009/notulasulbar.pdf
Surat Edaran merupakan suatu PERINTAH pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edarn Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:
a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak
b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan
b. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
c. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

>>>

Setelah baca sudah bisa perolah kesimpulan bahwa Surat Edaran adalah suatu perintah atau penjelasan yang tak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya.

Artinya himbauan publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus tak bisa dibawa ke wilayah hukum, sehingga tak diturutipun tetap bisa meluluskan mahasiswa/bisa terbit ijazah karena kewajiban publikasi sebagai persyaratan lulus tidak pernah disebut dalam peraturan perundangan, tidak seperti akreditasi jelas ada disebut di UU sisdiknas dan PP 19/2005 bahwa bagi Prodi tak bisa terbit ijazah bila sampai pertengahan 2012 tidak terakreditasi. Cuma walaupun Surat Edaran tidak berkekuatan hukum, tetap bisa secara tak langsung memberi sanksi ke dalam umpamanya PT yang tidak memiliki portal jurnal atau transkrip mahasiswa tak cantumkan publikasi bisa melemahkan peringkat komponen lulusan dalam proses akreditasi, atau dijadikan sebagai alasan penolakan suatu produk Dikti dsb. Mungkin tak termonitor pelaksanaannya namun sewaktu ada sesuatu penawaran dari Dikti maka laporan publikasi mahasiswa bisa aja dijadikan sebagai persyaratan. Beban kerja dosen yang merupakan kewajiban dosen tetap menurut PP dosen aja sulit terpantau, walaupun ada usaha dari PT/Kopertis mengumpulkan laporan beban kerja dosen, bukankah yang tak menyerahkan juga tak ada sanksi karena peraturan perundangan juga tak ada singgung sanksi selain dijadikan sebagai persyaratan serdos, tunjangan profesi, perpanjangan BUP dll.

Kita positif thinking aja, bukankah kalo bisa arahkan mahasiswa perbanyak publikasi dan terhimpun dalam suatu wadah merupakan usaha yang cukup baik.

Sampai sini ya, sudah ngantuk...Fitri.  "

Bu Fitri juga mengumpulkan berita di media massa terkait Surat Edaran tsb:

-----
 
6 ) Ini Alasan Mahasiswa Wajib Publikasi Makalah
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/03/15160740/Ini.Alasan.Mahasiswa.Wajib.Publikasi.Makalah

Jumat, 3 Februari 2012 | 15:16 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud), Djoko Santoso menjelaskan mengapa seluruh mahasiswa (S-1, S-2, S-3) diwajibkan membuat dan memublikasikan tulisan karya ilmiahnya sebagai salah satu penentu kelulusan. Seperti diketahui, per 27 Januari 2012, Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran mengenai ketentuan tersebut. (Baca: Syarat Lulus S-1, S-2, S-3: Harus Publikasi Makalah). Djoko mengatakan, sebagai ahli, seorang sarjana harus memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik. Setiap mahasiswa, lanjut Djoko, dapat menulis karya ilmiah baik dari rangkuman tugas, penelitian kecil, mau pun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya.

...dst

1 ) Harus Diakui, Banyak Mahasiswa "Gagap" Menulis
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/05/08262468/Harus.Diakui..Banyak.Mahasiswa.Gagap.Menulis

Minggu, 5 Februari 2012 | 08:26 WIB
MALANG, KOMPAS.com - Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, Jawa Timur, menyatakan dukungannya atas kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait kewajiban bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya tulis ilmiahnya. Kebijakan Ditjen Dikti tersebut dikeluarkan melalui surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 yang ditujukan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia.
"Saya memang belum menerima dan membaca surat edaran itu. Tapi saya sangat mendukung kebijakan Dikti itu. Karena sangat mendukung terhadap peningkatan kualitas mahasiswa. Baik untuk S-1, S-2 dan S-3," jelas Rektor UIN Maliki Malang, Prof DR H Imam Suprayogo, kepada Kompas.com, Sabtu (4/2/2012).

...dst

2 ) Dirjen Dikti: S-1 Bisa Publikasi Makalah secara "Online"
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/04/1010063/Dirjen.Dikti.S-1.Bisa.Publikasi.Makalah.secara.Online.

Sabtu, 4 Februari 2012 | 10:10 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso mengatakan, sesuai dengan jenjangnya, level jurnal yang menerbitkan makalah mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berbeda-beda. Ia mengungkapkan, mahasiswa S-1 dimungkinkan untuk membuat berbagai bentuk makalah, termasuk ringkasan skripsi, kumpulan tugas, ataupun hasil penelitian lain yang dilakukan selama masa kuliah.

...dst

3 ) S-2 Diimbau Publikasi di Jurnal Terakreditasi
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/04/10272318/S-2.Diimbau.Publikasi.di.Jurnal.Terakreditasi

Sabtu, 4 Februari 2012 | 10:27 WIB
...cut...Bagi mahasiswa S-2, Djoko mengimbau agar karya ilmiah yang dibuat masuk dalam jurnal nasional yang telah terakreditasi Ditjen Dikti Kemdikbud. Namun, ia menyadari, jurnal nasional yang terakreditasi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, syarat tersebut kemudian diperlonggar. Mahasiswa S-2 diwajibkan memublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal nasional, dan diutamakan yang telah terakreditasi. "Tak terakreditasi tak masalah, yang penting nasional. Libatkan saja pakar di beberapa daerah untuk me-review, itu sudah bisa dikatakan jurnal nasional.

...dst

4 ) Cukupkah Jumlah Jurnal Ilmiah Menampungnya?
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/04/09302725/Cukupkah.Jumlah.Jurnal.Ilmiah.Menampungnya

Sabtu, 4 Februari 2012 | 09:30 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi perlu mengkaji ulang syarat kelulusan program S-1 yang mewajibkan calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah...cut...Menurut dia, melihat kondisi saat ini, persyaratan tersebut tidak membumi karena tidak sesuai dengan daya dukung jurnal di Tanah Air. Edy mengungkapkan, dari 3.000 lebih perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, setidaknya setiap tahun ada 750.000 calon sarjana. Untuk menampung makalah mereka, maka harus ada puluhan ribu jurnal ilmiah di negeri ini. "Seandainya di Indonesia saat ini ada 2.000 jurnal, dan setiap jurnal terbit setahun dua kali, yang setiap terbit mempublikasikan lima artikel, maka setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan para calon sarjana," kata Edy yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini. Ia menilai, meskipun jumlah jurnal ilmiah bertambah lima kali lipat, tetap tidak mampu menampung tulisan ilmiah calon sarjana di Indonesia. Masih ada ratusan ribu calon sarjana yang antre untuk dimuat. Padahal, jurnal tersebut juga digunakan oleh dosen dan peneliti.

...dst

5 ) Karya Ilmiah Jadi Penentu Kelulusan Mahasiswa
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/466786/

Sunday, 05 February 2012
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan seluruh mahasiswa untuk membuat karya ilmiah sebagai syarat kelulusan...cut...Rektor ITB Akhmaloka berpendapat, surat edaran itu tidak mewajibkan mahasiswa S-1 untuk membuat jurnal ilmiah,tapi masih sebatas imbauan.
Mahasiswa S-1 hanya diwajibkan membuat karya ilmiah yang bahan-bahannya didapat dari seminar ilmiah yang dibimbing dosen."Artinya ini masih imbauan dan bukan persyaratan keras yang apabila tidak dilakukan tidak akan lulus,"ungkapnya.

...dst

6 ) Dikti Diminta Kaji Syarat Lulus Sarjana
http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/02/04/80831/Dikti-Diminta-Kaji-Syarat-Lulus-Sarjana/3

Sabtu, 4 Februari 2012 07:00 WIB
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) perlu mengkaji ulang syarat kelulusan program strata satu (S1) yang mewajibkan calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Hal itu dikatakan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid, di Yogyakarta, Sabtu (4/2).
"Persyaratan yang tertuang dalam Surat Dirjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah untuk program S1/S2/S3 yang merupakan salah satu syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012 itu patut mendapatkan apresiasi, tetapi tidak realistis," katanya.

...dst
 
---------
 
Rame ya? Entah bagaimana bila kemudian (seperti yang diusulkan salah satu yang menanggapi surat edaran ini) bila keharusan menulis di jurnal internasional itu berlaku bagi profesor tiap tahun! Bila tidak, hapus saja tunjangannya! Setuju ???
 

No comments:

Post a Comment