Wednesday, February 8, 2012

Bahkan Prof. Franz Magnis juga menanggapi masalah kewajiban menulis itu ...

Dikti di Seberang Harapan?
Rabu, 8 Februari 2012
Oleh Franz Magnis-Suseno SJ

http://m.kompas.com/news/read/2012/02/08/02573341/dikti.di.seberang.harapan


Pada tanggal 27 Januari lalu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengirim surat edaran kepada
semua perguruan tinggi di Indonesia. Isinya mengejutkan banyak orang,
khususnya pihak-pihak terkait.

Sesudah mengeluhkan bahwa keluaran (output) karya ilmiah perguruan
tinggi Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia, diberikan
ketentuan: mulai Agustus 2012, untuk bisa lulus sarjana harus dihasilkan
makalah yang terbit pada sebuah jurnal ilmiah, untuk lulus magister
makalah harus terbit dalam jurnal ilmiah nasional, dan untuk mau menjadi
doktor harus di jurnal internasional.

Astaghfirullah! Itukah obat bagi anemia output ilmiah bangsa Indonesia?
Muncul dua pertanyaan. Pertama, dapatkah rencana Pak Dirjen
direalisasikan? Kedua, kalau dapat direalisasikan, siapa yang akan
membaca ribuan makalah setiap bulan di jurnal-jurnal itu?

Pertanyaan pertama

Mengikuti beberapa rekan (di internet), mari kita berhitung. Andai
makalah calon lulusan S-1 sepanjang 10 halaman-makalah S-2 dan S-3 15
halaman-dan kalau setiap tahun rata-rata ada 100.000 calon lulusan S-1,
perlu disediakan sejuta halaman "jurnal ilmiah". Kalau satu jurnal
rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali (!) setahun, yang harus
disediakan adalah sekitar 555 "jurnal ilmiah" baru. Namun, dengan
kemungkinan "jurnal ilmiah" online, pelaksanaan fisik bisa diatur.

Lain hal jurnal "ilmiah nasional" yang diharuskan bagi para calon
magister dan tidak bisa hanya online. Andai ada 3.000 calon magister per
tahun, perlu disediakan 45.000 helai, jadi 25 jurnal (terbit 12 kali per
tahun) baru.

Masalah ini pun masih bisa dipecahkan. Biarlah perguruan tinggi (PT)
menerbitkan jurnal "ilmiah nasional", biayanya ditagih ke mahasiswa yang
mau memublikasikan makalahnya (seperti penerbit Brill di Leiden,
Belanda, yang spesialisasinya memublikasikan disertasi-disertasi yang
tidak menemukan penerbit bermutu asal penulis membayar).

Kewajiban para calon doktor untuk mendaratkan makalah di jurnal
internasional lebih sulit. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen
Dikti) luput memperhatikan sesuatu: antara lingkungan akademik kita dan
lingkungan akademik luar negeri (LN) tidak "nyangkut". Kemungkinan besar
tulisan orang kita yang an sich cukup ilmiah, tetapi dari segi diskursus
ilmiah di LN tetap kelihatan polos, di luar konteks, "ketinggalan
zaman". Saya sendiri selama 43 tahun sebagai dosen filsafat memang bisa
memublikasikan cukup banyak tulisan di LN, tetapi hanya dua dalam
majalah filsafat kelas I! Memang, barangkali bisa ditemukan sebuah
jurnal obscure di India yang bersedia memuat karangan-karangan calon
lulusan S-3 kita. Namun, apa itu yang dimaksud Ditjen Dikti?

Mensyaratkan publikasi di LN bagi calon lulusan S-3, begitu pula dalam
rangka kenaikan pangkat akademis dan sertifikasi, menurut saya
betul-betul salah kaprah. Suatu gagasan yang lahir dari otak para
birokrat yang tidak tahu realitas akademik, tetapi bikin susah orang
lain.

Namun, saya punya jalan keluar, jalan cemerlang! Begini! Katakanlah
setiap tahun ada 300 calon lulusan S-3, ditambah 1.000 dosen yang
mengurus rangka kenaikan pangkat/sertifikasi. Jadi, setiap tahun 1.300
makalah, 19.500 helai, perlu dipublikasi di LN. Nah, biar Dikti membuka
perwakilan di Timor Leste. Di sana Dikti mendirikan 10 jurnal ilmiah
saja (terbit 12 kali setahun, pembiayaan ditagih dari para penulis).
Masalah pun terpecahkan.

Solusi Timor Leste itu mempunyai tiga keuntungan: para calon
doktor/dosen kita terjamin publikasinya di LN, Dikti bisa menaikkan
pendapatan sekian karyawannya (mereka yang terlibat dalam produksi 10
jurnal itu), dan Indonesia memberi sumbangan kepada perekonomian Timor
Leste. Cukup genial, bukan?

Pertanyaan kedua

Jadi, surat edaran Pak Dirjen bisa saja dilaksanakan. Hanya, ada dua
masalah. Pertama, siapa yang mau membaca ribuan makalah setiap bulan itu
yang ditulis oleh mahasiswa yang belum lulus dan yang banyak akan lulus
dengan nilai B atau C? Apa Dikti sendiri bisa mengecek 1.450.000 halaman
makalah-makalah itu?

Namun, dan itu masalah kedua, kalau mahasiswa tahu bahwa makalahnya
tidak mungkin dibaca dengan sungguh-sungguh, mereka tidak punya motivasi
apa pun untuk menulis sesuatu yang bermutu. Jadi, mereka akan menulis
"sampah". Dengan lain kata, surat edaran Dirjen Dikti ini adalah sarana
mujarab untuk mengajak para calon akademisi kita untuk memproduksi
sampah!

Jadi, kebijakan Dikti justru bisa bikin celaka. Alih-alih mendorong mutu
output ilmiah PT-PT kita, Dikti malah mengharuskan kebijakan yang
hasilnya adalah menciptakan budaya asal-asalan, yang lebih buruk
daripada yang ada sekarang: budaya asal tulis 10 halaman, budaya asal
tulisan itu bisa ditampung di jurnal.

Menurut saya, maaf, dalam hal ini Dikti salah besar, yakni mau
meningkatkan mutu dengan paksaan dan ancaman. Bahkan, dengan cara
yang-kalau mau dilaksanakan menurut maksud Pak Dirjen-mustahil
terlaksana. Hal yang justru terlupakan: hanya ada satu dasar bagaimana
mutu intelektual bisa mencuat, yakni motivasi di batin para dosen dan
mahasiswa. Ironisnya, motivasi itu justru akan dibunuh dengan surat
edaran baru itu.

Masihkah ada harapan?

Sebenarnya masalah yang mendasari defisit naluri peneliti-ilmiah di
kalangan mahasiswa (dan dosen) kita sudah sering diangkat, tetapi
barangkali belum di Dikti: pola pendidikan kita, mulai dari SD, harus
diubah. Dari pendekatan yang memperlakukan anak-anak sebagai obyek pasif
yang kelakuannya dimanipulasi dan otaknya diisi oleh
guru/sekolah/Kemdikbud ke pendekatan yang memandang anak (anak kecil!)
sebagai subyek yang dihormati identitasnya. Oleh karena itu, perlu
dirangsang semangatnya untuk ingin tahu, untuk mencari yang baru, berani
bertanya, bertanya "mengapa", dan untuk berani mengemukakan pendapat
sendiri.

Jadi, kreativitasnya dirangsang. Mereka yang melawan tren dipuji,
perbedaan pendapat dihormati, bahkan dihargai oleh guru. Anak juga
dirangsang belajar berdebat. Jadi, dari anak yang diharapkan manutan
alias penurut menjadi anak yang percaya diri, terbuka, berani, dan
kreatif.

Itu tentu tidak mungkin dilaksanakan dalam satu tahun. Namun, Kemdikbud
bisa berbuat sesuatu, misalnya semakin memperhatikan pendidikan
karakter. Guru-guru memberi dorongan supaya berani membebaskan diri dari
pola pendekatan "menggurui".

Kunci perkembangan intelektual mahasiswa adalah para dosen. Merekalah
yang menentukan suasana belajar. Maka, Dikti diharapkan memberi dukungan
agar dosen dapat berkembang secara terbuka, intelektual, dan kreatif.
Untuk itu, perlu segala "kebijakan" yang berupa harassment, pelecehan,
dihentikan. (Misalnya, pengecekan terhadap data untuk kenaikan
pangkat/sertifikasi yang sudah kegila-gilaan sehingga portal
Kopertis/Dikti kelebihan beban [overloaded]. Sampai-sampai karyawati
kami dianjurkan mengunduh [men-download] gunung data itu pagi-pagi
menjelang subuh). Segala kebijakan positif seperti sertifikasi (tetapi,
ya, tanpa harassment tadi) perlu diteruskan.

Pertanyaan saya, seorang pensiunan tua, kepada rekan-rekan di perguruan
tinggi: berapa lama kita-perguruan tinggi di Indonesia-membiarkan diri
dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang
berkesan beyond hope, melampaui harapan?

Akan tetapi, tentu harapan masih ada, bahkan di Kemdikbud dan Ditjen
Dikti.

Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar Pensiunan Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta.

No comments:

Post a Comment