Wednesday, February 29, 2012

Mendikbud: Tulis Jurnal Ilmiah Tak Berkekuatan Hukum

Anes Saputra - detikNews
Selasa, 28/02/2012 11:58 WIB

Jakarta Mendapat keberatan di sana-sini, Kemendikbud memperlunak kebijakan makalah ilmiah sebagai syarat lulus sarjana. Syarat itu tidak berkekuatan hukum. Yang jelas, menulis karya ilmiah merupakan kesadaran dari sarjana perguruan tinggi.

"Kami tidak harus buat permen (peraturan menteri). Tapi seandainya kesadaran tadi kita sampaikan itu untuk mendekatkan nilai akademik agar dituangkan di dalam aturan perguruan tinggi," ujar Mendikbud di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kemdikbud di Bojongsari, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Selasa (28/2/2012).

Menurut Mendikbud, menulis jurnal ilmiah itu sebenarnya tugas dari sarjana perguruan tinggi. Sudah seharusnya pula sarjana itu bisa menulis.

"Kalau seandainya dia diingatkan dia nggak mau kan lucu," kata Mendikbud.

Mendikbud menuturkan, jika ada calon sarjana yang tidak membuat makalah ilmiah, pihaknya tidak akan memberikan sanksi hukum. Sebab pihaknya tidak menggunakan pendekatan hukum atas itu.

"Kalau soal sanksi itu kan pendekatan hukum. Ini lebih pada komitmen nilai-nilai akademis. Bagi akademisi itu lebih kokoh daripada sanksi hukum," tutur dia.

Sebelumnya, Dirjen DIkti Djoko Santoso menelurkan peraturan. Bunyi surat Djoko Santoso yang menyangkut syarat kelulusan itu yakni:

Sebagimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dar Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlukan ketentuan sebagai berikut:

Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi
Dikti
Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal Internasional.

Friday, February 17, 2012

Bagaimana Di Malaysia?

Menata Jurnal Kelulusan

Oleh:Irwandi Jaswir
(Profesor Bidang Bioteknologi danDeputy Dean, Research Management Centre, International Islamic University Malaysia)
Sumber : KORAN REPUBLIKA KAMIS, 16 FEBRUARI 2012, Hal.4

Ada yang sedikit terlihat lucu ketika membaca SK Dikti Surat Dirjen Dikti No 152/ E/T/2012 tentang Kewajiban Publikasi dalam Jurnal Ilmiah untuk setiap lulusan perguruan tinggi di Tanah Air, mulai dari jenjang strata satu hingga strata tiga. Alasan yang dikemukakan Dikti untuk melaksanakan kebijakan tersebut dengan menyebut jumlah karya ilmiah perguruan tinggi Indonesia secara keseluruhan masih sepertujuh Malaysia, rasanya tidak patut disebut meskipun betul adanya.Alasan yang dikemukakan seharusnya cukup untuk memajukan produktivitas karya ilmiah Indonesia secara menyeluruh, tanpa mengacu pada sebuah negara. Menurut hemat penulis, keputusan Dikti untuk mewajibkan lulusan perguruan tinggi (PT) menghasilkan karya ilmiah ber bentuk jurnal, wajib diberi apresiasi. Bukankah itu salah satu ca ra untuk menuju ke arah kemajuan?

Sistim terpadu

Dikti mungkin memiliki pertimbangan khusus dengan mengambil Malaysia sebagai kayu pengukur dalam SK-nya. Selain sebagai negara terdekat, harus diakui, Malaysia memiliki sistem budaya penulisan yang lebih terstruktur dan sangat jelas.Data jurnal Nature be berapa waktu lalu menyebut, kar ya ilmiah saintis Indonesia dalam jurnal inter nasional adalah 0,88 artikel per satu juta penduduk sedangkan Ma laysia sebanyak 20,78. Indonesia berada pada posisi 134 dunia sedang Malaysia pada posisi 67. Pengalaman lebih dari 15 tahun menjadi saintis di Malaysia cukup memberi pengajaran kalau kewajiban
menulis karya ilmiah pada hakikatnya bukanlah barang baru di negara jiran tersebut. Seperti juga pada sektor-sektor lainnya, setiap aturan di Malaysia sangat jelas adanya dan berjalan dalam sebuah sistem terpadu. Di Malaysia, kewajiban menulis ilmiah baru diberlakukan untuk jenjang S2 ke atas. Jenjang S1 tidak ada kewajiban menulis jurnal sama sekali, cukup buat mereka untuk menghasilkan skripsi dan mempertahankannya dalam sebuah ujian sidang.
Untuk jenjang S2 dan S3, syaratnya harus mempublikasikan karya tulis dalam jurnal internasional. Pada kebanyakan universitas, untuk S2 minimal satu publikasi dan S3 sebanyak dua publikasi. Bahkan, syarat tersebut pun kini semakin sulit dengan beberapa universitas turut mengaitkan kualitas jurnal internasional tempat publikasi karya mereka. Beberapa universitas bahkan mensyaratkan mahasiswanya mempublikasikan karya tulis mereka hanya dalam jurnal-jurnal yang memiliki impact factor tertentu dan atau terdaftar dalam pangkalan data Scopus.
Hampir semua saintis di Malaysia sangat jarang mengirimkan karya ilmiahnya dalam publikasi jurnal-jurnal lokal. Poin yang dibe rikan buat mereka yang mempublikasi dalam jurnal lokal sangat kecil. Sehingga, cenderung me maksa saintis Malaysia berkarya di jurnal internasional.
Bagi seorang saintins asing yang berkiprah di Malaysia pula, rata-rata mereka dibebani tanggung jawab mempublikasikan tiga jurnal internasional per tahun sebelum kontraknya diperpanjang di Malaysia. Di beberapa universitas bahkan disyaratkan minimal kumulasi impact factor sampai lima jurnal per tahun.
Seseorang yang ingin promosi ke jenjang profesor, mempublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal internasional adalah sangat menentukan. Jumlahnya bisa jadi di atas 50 artikel. Beberapa dosen Indonesia bahkan ada yang mempublikasi karya ilmiahnya dalam jurnal internsional sampai 70 artikel, sebelum pede mengajukan diri promosi ke jenjang profesor.
Seperti diketahui, sistem promosi kepangkatan staf perguruan tinggi di Malaysia sangat ketat. Pada tahap akhir, daftar publikasi ilmiah mereka akan dikirim kepada lima orang profesor terkenal di bidang masing-masing di luar Malaysia sebagai external assessor (EA). Dan, para EA ini harus memberikan rekomendasi positif.
Namun, seperti telah disebutkan di atas, sistem terpadu dan aturan yang jelas sangat terasa di Malaysia. Sistem terpadu, dalam artian para saintis, juga diberi fasilitas yang lengkap untuk penelitian. Adalah sangat mustahil mengharapkan sebuah karya ilmiah dimuat di jurnal bergengsi internasional tanpa riset yang betul-betul unggul. Inilah yang harus diperhatikan pemerintah kita dalam mengimplementasi kewajiban karya ilmiah di jurnal ini.
Adakah semua perguruan tinggi sudah diberi fasilitas memadai un tuk melakukan penelitian? Seperti dimaklumi, di Malaysia, dana penelitian tidaklah terlalu sulit didapat. Setiap dosen dijamin mendapatkan dua proyek riset di kampus pada satu waktu. Belum lagi berbagai dana penelitian yang disediakan beberapa kementerian, seperti Kementerian Pengajian Tinggi (KPT) dan Kementrian Riset serta pihak swasta. Beberapa peneliti bahkan dengan mudah mendapatkan dana penelitian.
Begitu proyek didapat, mahasiswa pascasarjana yang biasanya berasal dari mancanegara juga sudah tersedia. Rata-rata, para ma hasiswa ini memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Inggris dengan baik.
Mahasiswa-mahasiswa pascasarjana inilah yang selalu menjadi andalan untuk publikasi buat sang dosen. Situasinya bisa disebut win-win solusion. Sang mahasiswa mendapat uang saku dan uang ku liah dari penelitian yang dijalankan serta publikasi sebagai syarat lulus. Dan, sang dosen mendapat publikasi untuk kepangkatan dan syarat administrasi lainnya.
Bayangkan, jika seorang dosen memiliki lima mahasiswa pascasarjana dan setiap tahun masing-masing dari mereka menulis satu paper ilmiah. Di luar itu, setiap publikasi dalam jurnal internasional juga mendapat insentif keuangan, sekitar Rp 5 juta per artikel.
Sistem MyRA Dalam beberapa tahun terakhir, KPT, Kementrian yang menaungi perguruan tinggi di Malaysia, juga memiliki acuan apa yang disebut sebagai MyRA. MyRA merupakan sebuah pangkalan data yang digunakan KPT untuk mendokumentasikan semua aktivitas perguruan tinggi, termasuk dalam hal riset dan publikasi.
Data MyRA yang selalu di-update juga digunakan untuk memberi peringkat sebuah universitas sebelum diberikan status universitas riset (research university/RU).
Tercatat saat ini, sudah ada lima uni versitas di Malaysia berstatus RU dengan salah satu di antaranya, Universiti Sains Malaysia yang menjadi pemuncak dan disebut juga Apex University. Perlu diketahui, pada awalnya, setiap universitas dengan status RU mendapat dana penelitian tetap sebesar 120 juta ringgit (Rp 340 miliar) setahun. Kini, dana ter sebut turun separuhnya, namun tetap terasa sangat besar untuk men dongkrak kegiatan riset dan publikasi di universitas. Dana tetap RU akan dikelola langsung oleh universitas, namun di luar itu, para saintis universitas-universitas tersebut masih berpeluang merebut berbagai dana penelitian dari kementerian.
Untuk menjadi RU, syaratnya sangat tidak mudah. Misalnya, jumlah publikasi dalam jurnal internasional per tahun harus dua kali lipat jumlah dosennya, dengan total impact factor minimal 500 dan jumlah sitasi (citation) minimal 10 ribu. Jumlah dana penelitian untuk para saintis di bidang sains dan teknologi mesti 50 ribu ringgit per tahun per dosen.
Setiap kampus di Malaysia berlomba-lomba untuk mendapatkan status RU karena adanya dukungan keuangan yang kukuh dari pemerintah. Bagi universitas berstatus RU, dana tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas karya ilmiah yang secara tidak langsung akan mengangkat peringkat universitas tadi pada peringkat internasional.

Wednesday, February 8, 2012

Bahkan Prof. Franz Magnis juga menanggapi masalah kewajiban menulis itu ...

Dikti di Seberang Harapan?
Rabu, 8 Februari 2012
Oleh Franz Magnis-Suseno SJ

http://m.kompas.com/news/read/2012/02/08/02573341/dikti.di.seberang.harapan


Pada tanggal 27 Januari lalu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengirim surat edaran kepada
semua perguruan tinggi di Indonesia. Isinya mengejutkan banyak orang,
khususnya pihak-pihak terkait.

Sesudah mengeluhkan bahwa keluaran (output) karya ilmiah perguruan
tinggi Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia, diberikan
ketentuan: mulai Agustus 2012, untuk bisa lulus sarjana harus dihasilkan
makalah yang terbit pada sebuah jurnal ilmiah, untuk lulus magister
makalah harus terbit dalam jurnal ilmiah nasional, dan untuk mau menjadi
doktor harus di jurnal internasional.

Astaghfirullah! Itukah obat bagi anemia output ilmiah bangsa Indonesia?
Muncul dua pertanyaan. Pertama, dapatkah rencana Pak Dirjen
direalisasikan? Kedua, kalau dapat direalisasikan, siapa yang akan
membaca ribuan makalah setiap bulan di jurnal-jurnal itu?

Pertanyaan pertama

Mengikuti beberapa rekan (di internet), mari kita berhitung. Andai
makalah calon lulusan S-1 sepanjang 10 halaman-makalah S-2 dan S-3 15
halaman-dan kalau setiap tahun rata-rata ada 100.000 calon lulusan S-1,
perlu disediakan sejuta halaman "jurnal ilmiah". Kalau satu jurnal
rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali (!) setahun, yang harus
disediakan adalah sekitar 555 "jurnal ilmiah" baru. Namun, dengan
kemungkinan "jurnal ilmiah" online, pelaksanaan fisik bisa diatur.

Lain hal jurnal "ilmiah nasional" yang diharuskan bagi para calon
magister dan tidak bisa hanya online. Andai ada 3.000 calon magister per
tahun, perlu disediakan 45.000 helai, jadi 25 jurnal (terbit 12 kali per
tahun) baru.

Masalah ini pun masih bisa dipecahkan. Biarlah perguruan tinggi (PT)
menerbitkan jurnal "ilmiah nasional", biayanya ditagih ke mahasiswa yang
mau memublikasikan makalahnya (seperti penerbit Brill di Leiden,
Belanda, yang spesialisasinya memublikasikan disertasi-disertasi yang
tidak menemukan penerbit bermutu asal penulis membayar).

Kewajiban para calon doktor untuk mendaratkan makalah di jurnal
internasional lebih sulit. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen
Dikti) luput memperhatikan sesuatu: antara lingkungan akademik kita dan
lingkungan akademik luar negeri (LN) tidak "nyangkut". Kemungkinan besar
tulisan orang kita yang an sich cukup ilmiah, tetapi dari segi diskursus
ilmiah di LN tetap kelihatan polos, di luar konteks, "ketinggalan
zaman". Saya sendiri selama 43 tahun sebagai dosen filsafat memang bisa
memublikasikan cukup banyak tulisan di LN, tetapi hanya dua dalam
majalah filsafat kelas I! Memang, barangkali bisa ditemukan sebuah
jurnal obscure di India yang bersedia memuat karangan-karangan calon
lulusan S-3 kita. Namun, apa itu yang dimaksud Ditjen Dikti?

Mensyaratkan publikasi di LN bagi calon lulusan S-3, begitu pula dalam
rangka kenaikan pangkat akademis dan sertifikasi, menurut saya
betul-betul salah kaprah. Suatu gagasan yang lahir dari otak para
birokrat yang tidak tahu realitas akademik, tetapi bikin susah orang
lain.

Namun, saya punya jalan keluar, jalan cemerlang! Begini! Katakanlah
setiap tahun ada 300 calon lulusan S-3, ditambah 1.000 dosen yang
mengurus rangka kenaikan pangkat/sertifikasi. Jadi, setiap tahun 1.300
makalah, 19.500 helai, perlu dipublikasi di LN. Nah, biar Dikti membuka
perwakilan di Timor Leste. Di sana Dikti mendirikan 10 jurnal ilmiah
saja (terbit 12 kali setahun, pembiayaan ditagih dari para penulis).
Masalah pun terpecahkan.

Solusi Timor Leste itu mempunyai tiga keuntungan: para calon
doktor/dosen kita terjamin publikasinya di LN, Dikti bisa menaikkan
pendapatan sekian karyawannya (mereka yang terlibat dalam produksi 10
jurnal itu), dan Indonesia memberi sumbangan kepada perekonomian Timor
Leste. Cukup genial, bukan?

Pertanyaan kedua

Jadi, surat edaran Pak Dirjen bisa saja dilaksanakan. Hanya, ada dua
masalah. Pertama, siapa yang mau membaca ribuan makalah setiap bulan itu
yang ditulis oleh mahasiswa yang belum lulus dan yang banyak akan lulus
dengan nilai B atau C? Apa Dikti sendiri bisa mengecek 1.450.000 halaman
makalah-makalah itu?

Namun, dan itu masalah kedua, kalau mahasiswa tahu bahwa makalahnya
tidak mungkin dibaca dengan sungguh-sungguh, mereka tidak punya motivasi
apa pun untuk menulis sesuatu yang bermutu. Jadi, mereka akan menulis
"sampah". Dengan lain kata, surat edaran Dirjen Dikti ini adalah sarana
mujarab untuk mengajak para calon akademisi kita untuk memproduksi
sampah!

Jadi, kebijakan Dikti justru bisa bikin celaka. Alih-alih mendorong mutu
output ilmiah PT-PT kita, Dikti malah mengharuskan kebijakan yang
hasilnya adalah menciptakan budaya asal-asalan, yang lebih buruk
daripada yang ada sekarang: budaya asal tulis 10 halaman, budaya asal
tulisan itu bisa ditampung di jurnal.

Menurut saya, maaf, dalam hal ini Dikti salah besar, yakni mau
meningkatkan mutu dengan paksaan dan ancaman. Bahkan, dengan cara
yang-kalau mau dilaksanakan menurut maksud Pak Dirjen-mustahil
terlaksana. Hal yang justru terlupakan: hanya ada satu dasar bagaimana
mutu intelektual bisa mencuat, yakni motivasi di batin para dosen dan
mahasiswa. Ironisnya, motivasi itu justru akan dibunuh dengan surat
edaran baru itu.

Masihkah ada harapan?

Sebenarnya masalah yang mendasari defisit naluri peneliti-ilmiah di
kalangan mahasiswa (dan dosen) kita sudah sering diangkat, tetapi
barangkali belum di Dikti: pola pendidikan kita, mulai dari SD, harus
diubah. Dari pendekatan yang memperlakukan anak-anak sebagai obyek pasif
yang kelakuannya dimanipulasi dan otaknya diisi oleh
guru/sekolah/Kemdikbud ke pendekatan yang memandang anak (anak kecil!)
sebagai subyek yang dihormati identitasnya. Oleh karena itu, perlu
dirangsang semangatnya untuk ingin tahu, untuk mencari yang baru, berani
bertanya, bertanya "mengapa", dan untuk berani mengemukakan pendapat
sendiri.

Jadi, kreativitasnya dirangsang. Mereka yang melawan tren dipuji,
perbedaan pendapat dihormati, bahkan dihargai oleh guru. Anak juga
dirangsang belajar berdebat. Jadi, dari anak yang diharapkan manutan
alias penurut menjadi anak yang percaya diri, terbuka, berani, dan
kreatif.

Itu tentu tidak mungkin dilaksanakan dalam satu tahun. Namun, Kemdikbud
bisa berbuat sesuatu, misalnya semakin memperhatikan pendidikan
karakter. Guru-guru memberi dorongan supaya berani membebaskan diri dari
pola pendekatan "menggurui".

Kunci perkembangan intelektual mahasiswa adalah para dosen. Merekalah
yang menentukan suasana belajar. Maka, Dikti diharapkan memberi dukungan
agar dosen dapat berkembang secara terbuka, intelektual, dan kreatif.
Untuk itu, perlu segala "kebijakan" yang berupa harassment, pelecehan,
dihentikan. (Misalnya, pengecekan terhadap data untuk kenaikan
pangkat/sertifikasi yang sudah kegila-gilaan sehingga portal
Kopertis/Dikti kelebihan beban [overloaded]. Sampai-sampai karyawati
kami dianjurkan mengunduh [men-download] gunung data itu pagi-pagi
menjelang subuh). Segala kebijakan positif seperti sertifikasi (tetapi,
ya, tanpa harassment tadi) perlu diteruskan.

Pertanyaan saya, seorang pensiunan tua, kepada rekan-rekan di perguruan
tinggi: berapa lama kita-perguruan tinggi di Indonesia-membiarkan diri
dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang
berkesan beyond hope, melampaui harapan?

Akan tetapi, tentu harapan masih ada, bahkan di Kemdikbud dan Ditjen
Dikti.

Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar Pensiunan Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta.

Tuesday, February 7, 2012

Masih Tentang Kewajiban Menulis di Jurnal Ilmiah

Dari milis DG:


Bapak/Ibu ysh,

Pada intinya kebijakan DIKTI tentang penulisan jurnal ini bagus dan baik sekali untuk memacu budaya menulis para mahasiswa Indonesia. Namun demikian alangkah baiknya detil kebijakannya dibuat lebih cermat dengan memahami konteks yang berjalan selama ini.
 
Menurut saya kurang tepat kalau menjadikan kewajiban menulis jurnal sebagai prasyarat kelulusan, apalagi untuk mahasiswa S1. Sebaliknya, jadikan penulisan jurnal sebagai sebuah insentif. Misalnya, di UM, kebijakan penulisan ini hanya ditujukan untuk mahasiswa S3. Mereka didorong untuk berhasil submit ke Jurnal ilmiah internasional (JUST submit, not accepted and published). Sekedar submit saja mahasiswa sudah mendapat kredit untuk bisa lulus Doktornya. Mereka juga berhak dengan dana untuk workshop/seminar/konferensi internasional, dst. Kami di Departemen HI FISIP UI sendiri, sudah lama sebenarnya menerapkan kebijakan bahwa skripsi / tesis mahasiswa yang bagus (mendapat A dan isunya menarik or relevan dengan tema jurnal yg sedang diterbitkan) dapat DITERBITKAN dalam jurnal ilmiah GLOBAL, jurnal yg diterbitkan 2x dalam setahun oleh Departemen HI FISIP UI. Mahasiswa cuma diminta membuat versi singkatnya. Dengan cara ini mahasiswa ybs dapat kredit dalam CVnya. Mereka dan Dosennya pun bangga!
 
Jadi, menurut hemat saya akan sulit kalau SELURUH skripsi mahasiswa HARUS diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah. Tetap harus ada proses SELEKSI (karena jurnal kan dibaca publik yg lebih luas, perlu ada akuntabilitasnya) dan sekali lagi dasar pemikiran pemuatan dalam Jurnal adalah INSENTIF, bukan PUNISHMENT. Insentif juga perlu diberikan untuk para pengurusnya (reviewernya, pengelolanya)
 
Kedua, kebijakan bagus dari DIKTI ini harus didukung oleh banyak hal, tidak bisa hanya sekedar "teriak" perbanyak penerbitan Jurnalnya. Beberapa hal yang diperhatikan adalah:
-> pendanaan untuk penerbitan jurnal berkualitas yang sustainable
Sudah menjadi rahasia umum, menerbitkan jurnal yang berkualitas (termasuk kemasannya) dan mampu diterbitkan secara berkala dengan tertib, dua tahun berturut-turut saja, para pengelolanya itu jungkir balik. Hanya mereka yang mau kerja bakti biasanya yang mampu mempertahankan kinerja penerbitan jurnal ilmiahnya.
So, kalau ingin digiatkan (kuantitas dan kualitas serta frekuensinya) maka memang setidaknya ada "gizi" yang cukup untuk para pengelola juranl ilmiah ini.
 
-> untuk jurnal ilmiah internasional bagi mahasiswa S2/S3. Saya yakin banyak penelitian  yang bagus dan menarik dari mahasiswa Indonesia, karena Indonesia sendiri adalah laboratorium hidup untuk banyak pengembangan ilmu, mulai dari sosial humaniora sampai physics-biology. Masalahnya harus diakui bahwa kemampuan berbahasa Inggris akademis yang baik belum menjadi kemampuan standar bagi kebanyakan kita.
Jadi, alangkah baiknya pemerintah mendukung berdirinya semacam Centre of Learning Process (terserah apa namanya) yang fungsi utamanya adalah memberikan bantuan/fasilitasi kepada mereka yang naskah jurnalnya sudah dianggap layak oleh peer group untuk dipublish tetapi perlu dukungan editor bahasa yang baik, sehingga gagasan dan temuan risetnya dapat ditangkap dengan baik olh pembaca internasional (khususnya dewan editor jurnal ilmiah internasional yg dituju).
Dengan kata lain ada dukungan institusional yang memadai untuk langkah (proses) menuju "go international" ini. Jangan hanya membebani mahasiswa, sementara institusi cuma ingin mencatat hasilnya saja.
 
Demikian   masukan sebagai urun rembug untuk mendukung kebijakan DIKTI ini, mudah-mudahan ada manfaatnya, pastinya banyak ide lain yang tak kalah baik dan menarik untuk memberikan bmasukan bagaimana Kebijakan DIKTI ini bisa workable untuk kebaikan bersama, khususnya penguatan SDM dan pengembangan ilmu pengetahuan melalui penerbitan Jurnal Ilmiah yang berkualitas.
 
Salam,
Nurul Isnaeni
FISIP Universitas Indonesia
 
Dari Internal Website UII
UII Rector: ”The Duty of Writing Journal for Undergraduate Students is Unrealistic Obligation"     E-mail
Saturday, 04 February 2012

The enthusiasm of Directorate General of Higher Education (DIKTI), Ministry of National Education and Culture to increase scientific journal publication in Indonesia must be appreciated. As we know that, the Indonesian scientific journal publication is still lower than Malaysia, Thailand, and Singapore. Thus, the duty of writing journal for undergraduate students who will graduate on August 2012 is unrealistic obligation. This statement was revealed by UII Rector, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. while having press conference on Friday (02/03) at Padang Sederhana Restaurant, Kaliurang street.

Based on the Circular of the Directorate General of Higher Education Ministry of Education and Culture No 152/E/T/2012 concerning scientific journal publication for undergraduate/graduate/postgraduate student, starting at August 2012, undergraduate students have to publish scientific article in journal. Then graduate students have to publish scientific article in national journal (DIKTI accreditation). Meanwhile, Postgraduate students have to have to publish scientific article in international journal.

Prof. Edy urged that this policy does not meet with journal capacity in Indonesia. If there are more than 3000 private and state universities in Indonesia that graduate their 750 thousand students in a year, there will thousand of scientific journals in publication in Indonesia. “Perhaps, we can publish the research on international scientific journal. However, it is still difficult since there is small number of Indonesia post graduate student who publish their scientific writing or present their research in International forum.” Prof Edy stated.

Prof. Dr. Edy Suandi Hamid who is also the chairman of Indonesian Private University Association (APTISI), also said that this policy is unrealistic. According to Indonesian Scientific Journal Database (PDII –LIPI) on October 2009, there were 2100 scientific journals including 406 scientific journals which were accredited. “Perhaps, the number of journal has increased. But, it still can not accommodate the scientific article written by scholar’s candidates.” He uttered.

According to Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, the Directorate General of Higher Education policy is innovative idea in encouraging scholar to write scientific article. However, DIKTI has not yet prepared it well. If the policy is implemented, national instability will be emerged. “National Journals publications have to be increased to accommodate scientific article written by both undergraduate and graduate student. In addition, if this policy will be implemented, Prof. Edy was worried about the emergence of low quality journal publication. If this happened, the objective of journal publication as the media to publish academic writing was unfulfilled. Prof Edy viewed that journal will be the formality requirement in graduating scholar in Indonesia.

“For that reasons, this policy should be done step by step. Moreover, the Directorate General of Higher Education (DIKTI) has to stimulate Indonesian scholar’s candidate, take for example by urging the academic program accredited ‘A’ grade to conduct this policy or by conducting other methods.” Prof Edy stated.

Ulasan di blog-nya Pak Rinaldi Munir, silahkan di-klik di tautan/pranala berikut ini.

Sunday, February 5, 2012

Penjelasan pak Djoko dan artikel terkait, diambil utuh dari media massa

Berikut ini tulisan di media massa terkait kewajiban publikasi ilmiah. Diambil utuh untuk memudahkan pembaca:

Ini Alasan Mahasiswa Wajib Publikasi Makalah

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud), Djoko Santoso menjelaskan mengapa seluruh mahasiswa (S-1, S-2, S-3) diwajibkan membuat dan memublikasikan tulisan karya ilmiahnya sebagai salah satu penentu kelulusan. Seperti diketahui, per 27 Januari 2012, Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran mengenai ketentuan tersebut. (Baca: Syarat Lulus S-1, S-2, S-3: Harus Publikasi Makalah).

Djoko mengatakan, sebagai ahli, seorang sarjana harus memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik. Setiap mahasiswa, lanjut Djoko, dapat menulis karya ilmiah baik dari rangkuman tugas, penelitian kecil, mau pun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya.
Sarjana harus punya kemampuan menulis secara ilmiah. Apa saja yang ia pelajari selama kuliah, termasuk bisa juga ringkasan skripsi
-- Dirjen Dikti Djoko Santoso
"Sarjana harus punya kemampuan menulis secara ilmiah. Apa saja yang ia pelajari selama kuliah, termasuk bisa juga ringkasan skripsi," kata Djoko, Jumat (3/2/2012), saat ditemui Kompas.com, di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Alasan kedua, terangnya, ketika seorang sarjana telah mahir menulis ilmiah, ke depannya diharapkan tidak akan kesulitan ketika membuat karya ilmiah di jenjang selanjutnya. Djoko berharap, aturan ini dapat menciptakan kuantitas dan kualitas karya ilmiah yang dihasilkan oleh Indonesia.

"Nanti ketika lanjut ke Magister atau Doktor, kualitas tulisan ilmiahnya bisa meningkat, berwawasan global, dan bisa terbit di jurnal-jurnal internasional," ujarnya.

Alasan ketiga, aturan ini sengaja dibuat untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam hal membuat karya ilmiah. Berdasarkan data Kemdikbud, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia saat ini masih rendah, hanya sepertujuh jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia.

"Kita tertinggal jauh. Sehingga ini harus dipahami sangat mendesak. Karena jumlah karya ilmiah memiliki korelasi dengan pendapatan per kapita," kata Djoko.

Seperti termuat dalam surat edaran Ditjen Dikti, ketentuan itu berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012. Ketentuan ini dibuat merespons rendahnya karya tulis ilmiah perguruan tinggi di Indonesia, yang hanya sepertujuh dari karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia.

Bagi mahasiswa S-1, untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Sementara, mahasiswa S-2 diharuskan menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.


Dirjen Dikti: S-1 Bisa Publikasi Makalah secara "Online"

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso mengatakan, sesuai dengan jenjangnya, level jurnal yang menerbitkan makalah mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berbeda-beda. Ia mengungkapkan, mahasiswa S-1 dimungkinkan untuk membuat berbagai bentuk makalah, termasuk ringkasan skripsi, kumpulan tugas, ataupun hasil penelitian lain yang dilakukan selama masa kuliah.

Seperti diketahui, untuk lulusan setelah Agustus 2012, Kemdikbud mensyaratkan publikasi makalah menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3. (Baca: Syarat Lulus S-1, S-2, S-3: Harus Publikasi Makalah). Lalu, bagaimana dengan daya tampung jurnal untuk menerbitkan karya tulis ilmiah para mahasiswa itu?

Menjawab pertanyaan ini, Djoko, yang ditemui Kompas.com, Jumat (3/2/2012), mengatakan, publikasi karya tulis tidak akan dipersulit. Bagi mahasiswa S-1, bisa menerbitkan jurnal ilmiahnya secara online. Selain lebih mudah, kata dia, jurnal online juga dapat mengatasi terbatasnya ruang publikasi seluruh makalah mahasiswa.

"Untuk S-1 yang penting namanya jurnal. Agar efektif dan efisien maka gunakanlah jurnal online," kata Djoko.

Djoko menambahkan, berbeda dengan era Orde Baru di mana perlu izin dari Menteri Penerangan dan Menteri Pertahanan dalam pembuatan jurnal, saat ini semua dapat dilakukan lebih mudah dengan memanfaatkan jurnal online.

Untuk menjaga mutu jurnal online, menurut Djoko, mahasiswa dapat meminta bantuan dari para pakar untuk mengkaji karya ilmiahnya. Menurutnya, para pakar akan dengan senang hati memberikan bantuan terlebih jika diberi janji namanya tercantum sebagai pengkaji dalam jurnal yang akan terbit.

"Saya rasa para pakar akan membantu meski tanpa dibayar. Karena mereka akan terkenal, semua orang ingin terkenal," ujarnya.

Seperti termuat dalam surat edaran, ketentuan itu berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012. Ketentuan ini dibuat untuk merespons rendahnya karya tulis ilmiah perguruan tinggi di Indonesia, yang hanya sepertujuh dari karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia.

Bagi mahasiswa S-1, untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit dalam jurnal ilmiah. Sementara mahasiswa S-2 diharuskan menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit dalam jurnal internasional.

S-2 Diimbau Publikasi di Jurnal Terakreditasi
, KOMPAS.com — Surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tertanggal 27 Januari 2012 menyebutkan bahwa sebagai syarat kelulusan, mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 harus memublikasikan makalah ilmiahnya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso mengatakan, level jurnal untuk masing-masing jenjang berbeda-beda.

Ketentuan yang dimuat dalam surat edaran tersebut:
1. Untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah.
2. Untuk lulus program magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti.
3. Untuk lulus program doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.
Bagi mahasiswa S-2, Djoko mengimbau agar karya ilmiah yang dibuat masuk dalam jurnal nasional yang telah terakreditasi Ditjen Dikti Kemdikbud.
Untuk mahasiswa S-1, Djoko mengatakan, publikasi bisa dilakukan melalui online. Akan tetapi, dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan pakar terkait jurnal yang akan diterbitkan. Penerbitan secara online, kata dia, untuk mengatasi keterbatasan ruang jurnal ilmiah yang bisa menampung karya tulis mahasiswa S-1. Bagaimana dengan mahasiswa S-2?

Bagi mahasiswa S-2, Djoko mengimbau agar karya ilmiah yang dibuat masuk dalam jurnal nasional yang telah terakreditasi Ditjen Dikti Kemdikbud. Namun, ia menyadari, jurnal nasional yang terakreditasi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, syarat tersebut kemudian diperlonggar. Mahasiswa S-2 diwajibkan memublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal nasional, dan diutamakan yang telah terakreditasi.

"Tak terakreditasi tak masalah, yang penting nasional. Libatkan saja pakar di beberapa daerah untuk me-review, itu sudah bisa dikatakan jurnal nasional. Kalau jurnal internasional itu lebih banyak, ada ribuan di dunia," kata Djoko, saat ditemui Kompas.com, Jumat (3/2/2012), di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Sementara itu, untuk mahasiswa S-3 wajib memublikasikan makalahnya pada jurnal internasional. Ketentuan ini berlaku bagi lulusan setelah Agustus 2012.

IPB Kaji Surat Edaran Ditjen Dikti

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Akademik Institut Pertanian Bogor (IPB) Yonny Koesmaryono mengatakan, saat ini pihaknya tengah membentuk tim untuk melakukan kajian terhadap surat edaran yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 27 Januari 2012. Surat edaran tersebut memuat tiga ketentuan terkait kewajiban bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasi karya ilmiahnya dalam sebuah jurnal. Ketentuan ini menjadi syarat kelulusan (Baca: Syarat Lulus S-1, S-2, S-3: Harus Publikasi Makalah).

Hasil kajian tim, kata Yonny, akan menjadi bahan yang akan diteruskan dan dimintakan penjelasan lebih lanjut kepada Ditjen Dikti sebagai pembuat kebijakan.
Surat itu sudah kami terima. Saat ini sedang dipelajari karena implementasi surat itu menjadi pertanyaan kami
-- Yonny Koesmaryono, IPB
"Surat itu sudah kami terima. Saat ini sedang dipelajari karena implementasi surat itu menjadi pertanyaan kami," kata Yonny saat dihubungi Kompas.com, Jumat (3/2/2012).

Ia menjelaskan, hingga saat ini belum ada sosialisasi terkait surat edaran itu. Padahal, kata dia, Ditjen Dikti seharusnya memberikan penjelasan terkait jurnal level mana yang harus memuat karya ilmiah mahasiswa, khususnya para mahasiswa S-1.

"Saya rasa harus dijelaskan. Kalau untuk program master dan doktor itu bagus, tetapi bagaimana untuk mahasiswa S-1," ujarnya.

Seperti termuat dalam surat edaran, ketentuan itu berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012. Ketentuan ini dibuat untuk merespons rendahnya karya tulis ilmiah perguruan tinggi di Indonesia, yang hanya sepertujuh dari karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia.

Bagi mahasiswa S-1, untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit dalam jurnal ilmiah. Sementara mahasiswa S-2 diharuskan menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit dalam jurnal internasional.

Secara Substansi Bagus, tetapi...

JAKARTA, KOMPAS.com - Kalangan universitas mulai merespons diterbitkannya surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait publikasi karya tulis ilmiah yang menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3. Rektor Universitas Muhammadiyah Dr Hamka, Jakarta, Suyanto menyambut baik ketentuan yang akan berlaku bagi lulusan setelah Agustus 2012 ini.

Akan tetapi, kata Suyanto, yang menjadi sorotan adalah ketika karya ilmiah itu menjadi penentu lulus atau tidaknya seorang mahasiswa.
Dari subtansi kami pikir itu bagus untuk memacu mahasiswa menulis karya ilmiah. Yang kami soroti adalah menjadi syarat kelulusan
-- Suyanto, Rektor Uhamka
"Dari subtansi kami pikir itu bagus untuk memacu mahasiswa menulis karya ilmiah. Yang kami soroti adalah menjadi syarat kelulusan," ujar Suyanto, Jumat (3/2/2012), saat dihubungi Kompas.com.

Ketentuan baru ini, lanjut Suyanto, akan menjadi salah satu materi yang akan dibahas dalam pertemuan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta pada 10-11 Februari mendatang, di Padang, Sumatera Barat. "Tentu akan kita bahas di sana, karena ini isu teraktual," kata dia.

Seperti termuat dalam surat edaran, ketentuan itu berlaku bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012. Ketentuan ini dibuat merespons rendahnya karya tulis ilmiah perguruan tinggi di Indonesia, yang hanya sepertujuh dari karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia.

Bagi mahasiswa S-1, untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Sementara, mahasiswa S-2 diharuskan menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

Cukupkah Jumlah Jurnal Ilmiah Menampungnya?


YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi perlu mengkaji ulang syarat kelulusan program S-1 yang mewajibkan calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Hal itu dikatakannya menanggapi terbitnya surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada 27 Januari 2012 yang memuat ketentuan mengenai kewajiban memublikasi makalah bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 sebagai syarat kelulusannya. (Baca: Ini Alasan Mahasiswa Wajib Publikasi Makalah)

"Persyaratan yang tertuang dalam Surat Dirjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah untuk program S1/S2/S3 yang merupakan salah satu syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012 itu patut mendapatkan apresiasi, tetapi tidak realistis," kata Edy, di Yogyakarta, Sabtu (4/2/2012).
Melihat kondisi saat ini, persyaratan tersebut tidak membumi karena tidak sesuai dengan daya dukung jurnal di Tanah Air. Dari lebih 3.000 PT, setidaknya setiap tahun ada 750.000 calon sarjana.
Menurut dia, melihat kondisi saat ini, persyaratan tersebut tidak membumi karena tidak sesuai dengan daya dukung jurnal di Tanah Air. Edy mengungkapkan, dari 3.000 lebih perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, setidaknya setiap tahun ada 750.000 calon sarjana. Untuk menampung makalah mereka, maka harus ada puluhan ribu jurnal ilmiah di negeri ini.

"Seandainya di Indonesia saat ini ada 2.000 jurnal, dan setiap jurnal terbit setahun dua kali, yang setiap terbit mempublikasikan lima artikel, maka setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan para calon sarjana," kata Edy yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.

Ia menilai, meskipun jumlah jurnal ilmiah bertambah lima kali lipat, tetap tidak mampu menampung tulisan ilmiah calon sarjana di Indonesia. Masih ada ratusan ribu calon sarjana yang antre untuk dimuat. Padahal, jurnal tersebut juga digunakan oleh dosen dan peneliti.

"Meskipun kewajiban itu baru akan berlaku setelah Agustus 2012, tetap sulit dipenuhi. Hingga Oktober 2009, menurut Indonesian Scientific Journal Database, terdata sekitar 2.100 jurnal yang berkategori ilmiah yang masih aktif. Dari jumlah itu hanya sekitar 406 jurnal yang telah terakreditasi," katanya.

Akan tetapi, menurut Edy, gagasan Ditjen Dikti cukup inovatif dan merangsang calon sarjana untuk berkarya. Namun, hal itu kurang diperhitungkan dan dipersiapkan secara matang. Ia menilai, jika dipaksakan akan memunculkan penerbitan jurnal yang "asal-asalan", sekadar untuk memenuhi persyaratan kelulusan.

"Jika hal itu terjadi, maka filosofi di balik penerbitan jurnal sebagai media memublikasikan karya akademik tidak terpenuhi. Jurnal hanya menjadi media formalitas sebagai persyaratan untuk bisa meluluskan sarjana," ujar Edy.

Ia mengusulkan agar ketentuan itu diterapkan secara bertahap, misalnya, diberlakukan bagi program studi yang terakreditasi A. "Selain itu, Dirjen Dikti juga perlu melakukan simulasi tentang daya dukung dan lulusan sarjana setiap tahunnya," kata Edy.

Saturday, February 4, 2012

Tentang Wajib Publikasi Calon Sarjana

Pada mulanya adalah Surat Edaran (?) Dirjen Dikti tentang kewajiban bagi calon sarjana (S1, S2, S3) untuk menulis dalam jurnal ilmiah sebelum bisa dinyatakan lulus ....

-----
(Ditulis Bu Fitri di Dikti Group)

Dear All,
Ada surat Dirjen Dikti tentang ketentuan publikasi untuk program S1/S2/S3 yang merupakan salah satu syarat kelulusan, yang berlaku terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012:
1 ) Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
2 ) Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti
3 ) Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal Internasional.

Lengkapnya silakan baca surat edaran No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 yang dituju kepada :
Rektor/Ketua/Direktur
PTN/PTS di seluruh Indonesia di tempat
http://dikti.go.id/attachments/article/2670/Surat%20Publikasi%20Karya%20Ilmiah.pdf

----


Lalu, muncullah berbagai tanggapan, saran, penjelasan, sindiran, dan sebagainya. kita mulai dari tulisan Bu Fitri, aktivis penulis di milis Dikti Group:

-----
" Dear All,
Perlu dicermati isi surat edaran Dirjen Dikti no. 152/E/T/2012, menurut pemahamanku :
http://dikti.go.id/attachments/article/2670/Surat%20Publikasi%20Karya%20Ilmiah.pdf
1 ) Untuk lulusan S1 wajib menghasilkan makalah yang TERBIT di Jurnal Ilmiah (tak ada kata Nasional, berarti boleh yang belum terpenuhi kriteria jurnal ilmiah nasional)
2 ) Untuk lulusan S2 wajib menghasilkan makalah yang TERBIT di jurnal ilmiah NASIONAL (minimal kriteria jurnal nasional harus terpenuhi) DIUTAMAKAN Jurnal terakreditasi Dikti (berarti pada kasus tertentu bisa jadi tak wajib publikasi di jurnal nasional terakreditasi Dikti)
3 ) Untuk lulusan S3 wajib menghasilkan makalah yang SUDAH DITERIMA UNTUK TERBIT di Jurnal Internasional (berarti walaupun belum terbit asal bisa sampaikan bukti sudah diterima untuk terbit sudah dianggap memenuhi syarat)

Mungkin teman-teman ada pendapat lain silakan share...Tks
Salam, Fitri"
 -----

dari Pak Eko Aribowo:

"Apa mungkin itu terlaksana mulai Sept 2012, misalnya untuk yg S2, lha ketersediaan jurnal terakreditasi dan jumlah mahasiswanya sj jauh lebh banyak mhsnya. Begitu pula yg untuk S1. Apalagi kl itu sbg syarat kelulusan.
Sy rasa akan lbh bijak kalau itu dilakukan bertahap. Sy memang belummembaca surat resminya.
Terima kasih dan mohon maaf."

dari saya sendiri:

" Dear all,
Rasanya, menurut pengalaman, lebih mudah memasukkan naskah ke jurnal Internasional daripada jurnal nasional terakreditasi. Bukan karena tuntutan kualitas naskahnya, tetapi jumlah jurnal nasional terakreditasi yang sangat timpang dibandingkan dengan calon pengisinya. Antrean beberapa jurnal sudah bilangan tahun. Bila ini diterapkan tanpa memperhitungkan sedikitnya jumlah jurnal nasional terakreditasi, bersiaplah menyaksikan menurunnya 'produktivitas' perguruan tinggi seluruh Indonesia dalam menghasilkan lulusannya (terutama S2).

Belum lama ini ada juga kebijakan untuk hanya menilai karya ilmiah yang dapat ditelusuri keberadaannya di Internet, yang kemudian diikuti dengan akrobat beberapa portal situs web PT yang men-scan dan mengupload karya ilmiah para dosennya, padahal tujuan kebijakan itu kan untuk mengurangi munculnya jurnal abal-abal plus plagiat?

Mudah-mudahan, surat edaran ini diikuti dengan kebijakan memfasilitasi akreditasi jurnal-jurnal yang ada tanpa mengurangi kualitasnya.

Salam, "


dari Pak Waras Kamdi:

" Semangat Edaran Dirjen itu bagus. Saya setuju, tapi kayaknya memang tidak realistis untk kondisi kita sekarang. Misalnya, jurnal kependidikan, tahun ini yg masih berstatus terakreditasi Dikti setahu saya hanya 6 biji, salah satunya JPP yg kami kelola. Antrean penulis di JPP sdh terbilang tahun. Mhs S2/S3 kependidikan se Indonesia ribuan jumlahnya. Di bidang nonkependidikan dugaan sy tidak jauh beda keadaannya. Siap-siaplah bikin antrean panjang untuk jadi sarjana/magister/doktor.
Salam,
Waka  "

Pak Hendyat Soetopo:

"

Pak Dirjen, Edaran Bapak no. 152/E/T/2012 sulit direalisasi. Untuk mahasiswa S1, bisa direalisasi namun jumlah jurnal ilmiah di perguruan tinggi juga terbatas jumlahnya. Untuk mewadahi karya dosen saja tidak cukup. Apalagi untuk S2 dan S3. Saya usul, dimulainya dari kewajiban telah meng-upload makalah ke Internet saja sebagai langkah awal. Kalau kebijakan ini yang dijadikan titik awal, pasti realistis. Kecuali Dikti membuat ratusan jurnal ilmiah dalam bentuk e-journal untuk mewadahi makalh lulusan S1, S2, S3.
 
Salam Hormat
Hendyat Soetopo
UM  "


dari Pak (Ibu?) Deri:


" Kalau begitu, kapan diterapkan syarat menjadi GB harus memiliki publikasi internasional??

Tidak fair rasanya jika utk menjadi doktor hrs ada publikasi internasional, sdgkan utk GB yg nota bene punya kemampuan membimbing doktor, tp tidak punya publikasi internasional.

Salam
Deri   "


Ditanggapi Bu Fitri:

" Dear Pak/Bu Deri,
GB selain wajib memiliki BKD minimal 12 sks per semester seperti dosen tetap non GB yang lain, mereka harus laksanakan kewajiban tambahan 3 sks per tahun yang salah satu dari 3 yang ditetapkan Dikti adalah wajib publikasi di jurnal internasional, seandainya dalam 3 tahun tidak melaksanaka 3 x 3 sks = 9 sks kewajiban tambahan tersebut, tunjangan kehormatan mereka diberhentikan sementara sampai semua kewajiban terpenuhi. Sudah itu sewaktu menjelang usia 65 tahun, mereka akan mengajukan perpanjangan BUP (Batas Usia Pensiun) salah satu persyaratan : pada tahun terakhir menjelang BUP harus memiliki publikasi di jurnal internasional atau sebagai pembicara utama di seminar internasional di LN atau menulis 3 buku ilmiah yang dijadikan referensi oleh 3 PT dan banyak lagi persyaratan lainnya. Jadi cukup banyak beban kerja juga untuk seorang GB.
Salam, selamat berweekend, ok sudah mau masuk kerja.
Fitri   "




Tanggapan Pak (ternyata!) Deri:

" Dear buk Fitri,

Kalau tidak salah utk kewajiban khusus GB tdk dicantumkan publikasi di jurnal internasional buk, tapi di jurnal terakreditasi.

Klu syarat utk perpanjangan GB, memang menjadi salah satu syarat (pilih satu dari 3 menerbitkan buku, publikasi internasional, menyebar luaskan gagasan). Kadang2 kita agak confuse dgn syarat perpanjangan GB dan kewajiban khusus GB.

Salam
Deri (Uda Deri)  "

dari Pak Amrifan S. Mohruni :

"

Ada bagusnya selain mewajibkan dikti juga memfasilitasi langganan jurnal international dan laboratorium yang memadai di setiap Universitas Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga seluruh dosen NKRI dibekali dengan alat yang sama baru disuruh balapan. Jangan ada yang naek motor/mobil ada yang lari jalan kaki tetapi harus balapan pada lintasan yang sama. Jadi seperti UN nantinya anak yang sekolah di Cikini (sekolahnya Obama) tanding bebas (soal dan nilai kelulusan sama) dengan anak yang sekolah di Yokuhima Papua.
 
wass
ASM  "

" Sangat setuju sekali pak,
Satu sisi Dikti pakai standar scorpus, namun dikti tdk ada memfasilitasi dgn berlangganan journal2 yg masuk scifinder/elsevier.

Kurang pas antara yg dilanggan dengan standar.

Dikti juga harus memfasilitasi untuk memenuhi standar minimal laboratorium sehingga minimal bisa melakukan riset2 pendahuluan.

Salam
Deri  "
 
Pertanyaan dari fentyema@ ...
 
" Banyak juga mahasiswa yg sudah menulis dan menerbitkan buku, tp tdk menulis jurnal. Apakah ini bisa sebagai pengganti jurnal??"
 
Yang setuju dan bersemangat:

"
Salam,

secara jujur saya sangat setuju dgn syarat yg diajukan dikti ini.
kita tidak usah terlalu khawatir dgn fasilitas lab dan jurnal2 berbayar itu. pa;ing tidak dimulai dari dasar2 penelitian dan penggunaan alat yg sederhana kita dapat mndapatkan data guna menyusun paper.

saya juga melihat afek positif bagi setiap jurusan di univ. dgn syarat ini paling tdk setiap jurusan akan dipaksa mmiliki jurnal sendiri shg bisa mengakomodir syarat kelulusan mhs kita. dgn memiliki jurnal ini maka akrditasi kita juga akan meningkat baik level nasional maupun level international.

ok dilanjut dulu diskusinya ...
tetap semangat dgn segala keterbatasan

 
Agung Sudrajad, 
kuantan  "

"  Dear buk Fitri,

Seandainya ini dijalankan, bagaimana cara memonitor apakah SE ini dijalankan oleh perguruan tinggi atau tidak?

SE ini akan mandul jika tidak disertai monitoring dari dikti.

Salam
Deri  "

" Dear Pak Deri,
Sorry ya late reply habis berbagai pertanyaan buat saya pusing dan letih, beberapa PT menanyakan bagaimana kekuatan surat edaran dan apa sanksinya bila tak jalankan. Wah jujur aja saya sama sekali bukan pakar hukum kok ditanya hukum terus ?

Hehehe...terpaksa pelajari dulu deh, tentu dari sejarah pembentuk hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia baru bisa dapat kesimpulan sampai di mana kekuatan suatu surat edaran...jujur aja tak melulu membaca, sempat tidur siang 3 jam, minum kopi dan mencicipi berbagai makanan yang tadi pagi borong dari pajak.


Mungkin pelaksanaan tak termonitor namun sewaktu ada sesuatu penawaran maka laporan publikasi mahasiswa bisa aja dijadikan sebagai persyaratan.  Beban kerja dosen yang merupakan kewajiban dosen tetap menurut PP dosen aja tak terpantau, walaupun ada usaha dari PT/Kopertis mengumpulkan laporan beban kerja dosen, bukankah yang tak menyerahkan juga tak ada sanksi? hanya jadikan laporan BKD sebagai persyaratan serdos, tunjangan, perpanjangan BUP dll.


OK deh sebentar lagi saya akan postkan uraian tentang kedudukan surat edaran di tata hukum kita.
Salam, Fitri.  "

Lalu, Pak Djoko Luknanto, salah seorang anggota DPT (Dewan pendidikan Tinggi?), menulis renungan untuk kita semua (setidaknya, aku ikut merenung juga):

"
Howdy,

Di mana-mana di mailing list banyak yang ribut surat edaran Dirjen Dikti, terutama tentang publikasi ilmiah – jurnal.

Saya memilih diam, karena akan banyak lagi surat edaran yang seperti itu. Tunggu saja:-)

Sejak beberapa bulan ini saya memilih melakukan internalisasi dan merefleksikan seluruh kejadian yang saya lihat. Banyak sekali keputusan di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini yang menurut saya kurang komprehensif pemikirannya.

Saya harus menerima keadaan. Sial bener!

Akhirnya saya sadar, bahwa saya harus kembali kepada ajaran moral/agama bahwa “hidup harus sederhana.” Tampaknya dalam hidup berorganisasi pada setiap jenjang kelembagaan, dari lokal sampai ke tingkat nasional, ajaran tersebut tetap relevan: “hidup harus sederhana.”

Dalam kekinian, saya menerapkan konsep tersebut dalam hidup berorganisasi. Saya mengambil sikap bahwa “mengharapkan leadership yang baik merupakan sebuah kemewahan.” Oleh karena itu jangan terlalu mengharapkan “leadership” karena sudah sangat jarang dijumpai di negara ini.

Hanya sayangnya kita belum punya ‘sistem’ yang bagus, sehingga begitu ‘leadership’ tidak ada, ‘seluruh sistem’ menjadi goncang. Lebih baik membangun ‘sistem’ dan jangan terlalu mengandalkan kepada ‘leadership.’

Jangan mengharapkan ‘leadership.’ Fatamorgana! Delusional!  "

Yang ditanggapi oleh Pak Heru Suhartanto :

"
imho,

sebaiknya pihak dikti mau mendengar dan bijak memroses/mempertimbangkan pendapat tersebut. apakah tidak ada alternative untuk menggiatkan publikasi? misalnya wajibkan saja dosen yang dapat tunjangan profesi untuk dapat membuat publikasi internasional, kalau tidak bisa ya cabut saja tunjangan itu. dari pada harus menimpakan kekesalan/kesalahan ke para mahasiswa terutama S1. Ujung2nya akan timbul banyak jurnal dengan kwalitas publikasi yang rendah atau masa kelulusan (terutama S1) akan makin lambat karena harus menunggu terbit papernya di suatu jurnal.  "

      (Saya memilih diam, karena akan banyak lagi surat edaran yang seperti itu. Tunggu saja:-)
 
diam sich memang boleh,  tapi paling tidak -- tidak membenarkan -- kalau edaran itu memang salah. Prinsip agama salah satunya  adalah kalo ada yang gak benar bisa dilakukan perubahan dengan tangan (kekuasaan) atau lisan (email pun jadi kale) atau dalam hati (diam tapi tak setuju, minimum do'akan agar yang membuat keputusan terbuka hatinya).
      (Sejak beberapa bulan ini saya memilih melakukan internalisasi dan merefleksikan seluruh kejadian yang saya lihat. Banyak sekali keputusan di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini yang menurut saya kurang komprehensif pemikirannya.)
 
 
setuju, bisa jadi ada yang berpendapat, pokoknya saya maunya begini, tanpa didahului oleh pemikiran yang panjang tentang persiapan dan dampak kebijakan itu.
 
imho, minimum kita bisa jadi leader yang benar di lingkungan kita sendiri, minimum di kantor/kuliah dan rumah, amin...

wasalam
---heru
 
Ada pula kajian hukum tentang prosuk berupa "Surat Edaran" dari Bu Fitri (Thanks Bu, jadi nggak usah cape nyari sendiri):

" Dear All,
Bermula dari ada yang mempermasalahkan/meragukan kekuatan hukum surat edaran Dirjen Dikti yang menjadikan publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus, saya jadi tertarik dan coba pelajari dari berbagai sumber bagai mana sebenarnya posisi surat edaran pejabat dalam tata hukum RI, apakah merupakan peraturan yang berkekuatan hukum atau hanya merupakan sebuah kebijakan atau himbauan untuk binaannya?

OK deh tentu harus dimulai dari pengenalan terhadap jenis peraturan-peraturan di Indonesia dan tata urutnya.

>>>

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya

Hierarki peraturan perundang-undangan baru mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang No.1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
http://ngada.org/uu1-1950bn.htm
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Menteri
Pasal 2
Tingkat kekuatan peraturn-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada

Selanjutnya hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 sbb:
http://tatanusa.co.id/tapmpr/66TAPMPRS-XX.pdf
Terdapat di Halaman 12
1) Undang Undang Dasar 1945
2) TAP MPR
3) Undang Undang/Perpu
4) Peraturan Pemerintah
5) Keputusan Presiden
6) Peraturan Pelaksana lainnya misalnya Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain lain

Selanjutnya tata urut peraturan perundang-undangan diobah lagi dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 menjadi:
http://portal.djmbp.esdm.go.id/sijh/Ketetapan%20MPR%20No.%20III%20Tahun%202000.pdf
1) Undang Undang Dasar 19454
2) TAP MPR
3) Undang Undang
4) Perpu
5) Peraturan Pemerintah
6) Keputusan Presiden
7) Perda

Kemudian diperbaharu lagi dengan UU no. 10 tahun 2004 (sudah dibatalkan UU no. 12 tahun 2011)
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2004/10Tahun2004UU.HTM
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 menyebutkan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

UU no. 12 tahun 2011 merupakan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan YANG BERLAKU SAAT INI
http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czozMjoiZD0yMDAwKzExJmY9dXUxMi0yMDExYnQuaHRtJmpzPTEiOw==
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

>>>

Mari pelajari bagaimana kedudukan Surat Edaran dalam tata hukum Negara kesatuan Republik Indonesia :
Implentasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
http://www.djpp.info/index.php/component/content/article/89-implementasi/282-implementasi-ternate

A. Materi yang disampaikan dalam kegiatan Implementasi Perangkat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pembicara ke III : Sri Hariningsih, S.H., M.H.
Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
http://www.djpp.info/files/perda/implementasi/2009/notulamalut.pdf
Butir 15
Produk hukum dalam bentuk " Surat Edaran" baik sebelum maupun sesudah berlakunya UU no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan pembentukan peratuaran perundang-undangan TIDAK dikategorikan sebagai PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, karena Surat Edarn kedudukan nya bukan sebagai peraturan perundangan-undangan, dengan demikian keberadaannya sama sekali tidak terikat dengan ketentuan UU no. 10 tahun 2004.

B. Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen no. 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK.

Selanjutnya di Permendagri no. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan :
http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/01/11/p/e/permen_no.55-2010.doc
Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak

Mengingat isi Surat Edarn hanya berupa pemberitahun, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.

Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.

Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia, norma hukum mencakup:
a. Norma tingkah laku terbagi 4:
- Larangan
- Perintah (harus atau wajib)
- Ijin (dapat atau boleh melakukan sesuati)
- Pembebasan dari suatu perintah (pengecualian)
b. Norma kewenangan terdiri 3:
- Berwenang
- Tidak Berwenan- Datap tetapi tidak perlu dilakukan
c. Norma penetapan terdiri 2:
- Kapan mulai berlaku suatu peraturan perundang-undangan
- Penentuan tempat kedudukan suatu lembaga dsb

C. Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh : Drs. Zafrullah Salim, M.H.
Butir 7 dan 8
http://www.djpp.depkumham.go.id/files/perda/implementasi/2009/notulasulbar.pdf
Surat Edaran merupakan suatu PERINTAH pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edarn Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:
a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak
b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan
b. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
c. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

>>>

Setelah baca sudah bisa perolah kesimpulan bahwa Surat Edaran adalah suatu perintah atau penjelasan yang tak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya.

Artinya himbauan publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus tak bisa dibawa ke wilayah hukum, sehingga tak diturutipun tetap bisa meluluskan mahasiswa/bisa terbit ijazah karena kewajiban publikasi sebagai persyaratan lulus tidak pernah disebut dalam peraturan perundangan, tidak seperti akreditasi jelas ada disebut di UU sisdiknas dan PP 19/2005 bahwa bagi Prodi tak bisa terbit ijazah bila sampai pertengahan 2012 tidak terakreditasi. Cuma walaupun Surat Edaran tidak berkekuatan hukum, tetap bisa secara tak langsung memberi sanksi ke dalam umpamanya PT yang tidak memiliki portal jurnal atau transkrip mahasiswa tak cantumkan publikasi bisa melemahkan peringkat komponen lulusan dalam proses akreditasi, atau dijadikan sebagai alasan penolakan suatu produk Dikti dsb. Mungkin tak termonitor pelaksanaannya namun sewaktu ada sesuatu penawaran dari Dikti maka laporan publikasi mahasiswa bisa aja dijadikan sebagai persyaratan. Beban kerja dosen yang merupakan kewajiban dosen tetap menurut PP dosen aja sulit terpantau, walaupun ada usaha dari PT/Kopertis mengumpulkan laporan beban kerja dosen, bukankah yang tak menyerahkan juga tak ada sanksi karena peraturan perundangan juga tak ada singgung sanksi selain dijadikan sebagai persyaratan serdos, tunjangan profesi, perpanjangan BUP dll.

Kita positif thinking aja, bukankah kalo bisa arahkan mahasiswa perbanyak publikasi dan terhimpun dalam suatu wadah merupakan usaha yang cukup baik.

Sampai sini ya, sudah ngantuk...Fitri.  "

Bu Fitri juga mengumpulkan berita di media massa terkait Surat Edaran tsb:

-----
 
6 ) Ini Alasan Mahasiswa Wajib Publikasi Makalah
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/03/15160740/Ini.Alasan.Mahasiswa.Wajib.Publikasi.Makalah

Jumat, 3 Februari 2012 | 15:16 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud), Djoko Santoso menjelaskan mengapa seluruh mahasiswa (S-1, S-2, S-3) diwajibkan membuat dan memublikasikan tulisan karya ilmiahnya sebagai salah satu penentu kelulusan. Seperti diketahui, per 27 Januari 2012, Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran mengenai ketentuan tersebut. (Baca: Syarat Lulus S-1, S-2, S-3: Harus Publikasi Makalah). Djoko mengatakan, sebagai ahli, seorang sarjana harus memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik. Setiap mahasiswa, lanjut Djoko, dapat menulis karya ilmiah baik dari rangkuman tugas, penelitian kecil, mau pun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya.

...dst

1 ) Harus Diakui, Banyak Mahasiswa "Gagap" Menulis
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/05/08262468/Harus.Diakui..Banyak.Mahasiswa.Gagap.Menulis

Minggu, 5 Februari 2012 | 08:26 WIB
MALANG, KOMPAS.com - Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, Jawa Timur, menyatakan dukungannya atas kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait kewajiban bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya tulis ilmiahnya. Kebijakan Ditjen Dikti tersebut dikeluarkan melalui surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 yang ditujukan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia.
"Saya memang belum menerima dan membaca surat edaran itu. Tapi saya sangat mendukung kebijakan Dikti itu. Karena sangat mendukung terhadap peningkatan kualitas mahasiswa. Baik untuk S-1, S-2 dan S-3," jelas Rektor UIN Maliki Malang, Prof DR H Imam Suprayogo, kepada Kompas.com, Sabtu (4/2/2012).

...dst

2 ) Dirjen Dikti: S-1 Bisa Publikasi Makalah secara "Online"
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/04/1010063/Dirjen.Dikti.S-1.Bisa.Publikasi.Makalah.secara.Online.

Sabtu, 4 Februari 2012 | 10:10 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso mengatakan, sesuai dengan jenjangnya, level jurnal yang menerbitkan makalah mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berbeda-beda. Ia mengungkapkan, mahasiswa S-1 dimungkinkan untuk membuat berbagai bentuk makalah, termasuk ringkasan skripsi, kumpulan tugas, ataupun hasil penelitian lain yang dilakukan selama masa kuliah.

...dst

3 ) S-2 Diimbau Publikasi di Jurnal Terakreditasi
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/04/10272318/S-2.Diimbau.Publikasi.di.Jurnal.Terakreditasi

Sabtu, 4 Februari 2012 | 10:27 WIB
...cut...Bagi mahasiswa S-2, Djoko mengimbau agar karya ilmiah yang dibuat masuk dalam jurnal nasional yang telah terakreditasi Ditjen Dikti Kemdikbud. Namun, ia menyadari, jurnal nasional yang terakreditasi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, syarat tersebut kemudian diperlonggar. Mahasiswa S-2 diwajibkan memublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal nasional, dan diutamakan yang telah terakreditasi. "Tak terakreditasi tak masalah, yang penting nasional. Libatkan saja pakar di beberapa daerah untuk me-review, itu sudah bisa dikatakan jurnal nasional.

...dst

4 ) Cukupkah Jumlah Jurnal Ilmiah Menampungnya?
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/04/09302725/Cukupkah.Jumlah.Jurnal.Ilmiah.Menampungnya

Sabtu, 4 Februari 2012 | 09:30 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi perlu mengkaji ulang syarat kelulusan program S-1 yang mewajibkan calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah...cut...Menurut dia, melihat kondisi saat ini, persyaratan tersebut tidak membumi karena tidak sesuai dengan daya dukung jurnal di Tanah Air. Edy mengungkapkan, dari 3.000 lebih perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, setidaknya setiap tahun ada 750.000 calon sarjana. Untuk menampung makalah mereka, maka harus ada puluhan ribu jurnal ilmiah di negeri ini. "Seandainya di Indonesia saat ini ada 2.000 jurnal, dan setiap jurnal terbit setahun dua kali, yang setiap terbit mempublikasikan lima artikel, maka setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan para calon sarjana," kata Edy yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini. Ia menilai, meskipun jumlah jurnal ilmiah bertambah lima kali lipat, tetap tidak mampu menampung tulisan ilmiah calon sarjana di Indonesia. Masih ada ratusan ribu calon sarjana yang antre untuk dimuat. Padahal, jurnal tersebut juga digunakan oleh dosen dan peneliti.

...dst

5 ) Karya Ilmiah Jadi Penentu Kelulusan Mahasiswa
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/466786/

Sunday, 05 February 2012
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan seluruh mahasiswa untuk membuat karya ilmiah sebagai syarat kelulusan...cut...Rektor ITB Akhmaloka berpendapat, surat edaran itu tidak mewajibkan mahasiswa S-1 untuk membuat jurnal ilmiah,tapi masih sebatas imbauan.
Mahasiswa S-1 hanya diwajibkan membuat karya ilmiah yang bahan-bahannya didapat dari seminar ilmiah yang dibimbing dosen."Artinya ini masih imbauan dan bukan persyaratan keras yang apabila tidak dilakukan tidak akan lulus,"ungkapnya.

...dst

6 ) Dikti Diminta Kaji Syarat Lulus Sarjana
http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/02/04/80831/Dikti-Diminta-Kaji-Syarat-Lulus-Sarjana/3

Sabtu, 4 Februari 2012 07:00 WIB
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) perlu mengkaji ulang syarat kelulusan program strata satu (S1) yang mewajibkan calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Hal itu dikatakan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid, di Yogyakarta, Sabtu (4/2).
"Persyaratan yang tertuang dalam Surat Dirjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah untuk program S1/S2/S3 yang merupakan salah satu syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012 itu patut mendapatkan apresiasi, tetapi tidak realistis," katanya.

...dst
 
---------
 
Rame ya? Entah bagaimana bila kemudian (seperti yang diusulkan salah satu yang menanggapi surat edaran ini) bila keharusan menulis di jurnal internasional itu berlaku bagi profesor tiap tahun! Bila tidak, hapus saja tunjangannya! Setuju ???